Mau dapat uang silakan klik link ini

Jumat, 01 Oktober 2010

Bali MANIK ANGKERAN ASAL MULA SELAT BALI

bali2.GIF (11695 bytes)
Bali
MANIK ANGKERAN
ASAL MULA SELAT BALI
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran. 
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama  kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu  menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

LEGENDA LEMBAH HARAU (Sumatera Barat)

LEGENDA LEMBAH HARAU
(Sumatera Barat)






Legenda ini menceritakan, dahulunya Lembah Harau adalah lautan. Apalagi berdasarkan hasil survey team geologi dari Jerman (Barat) pada tahun 1980, dikatakan bahwa batuan perbukitan yang terdapat di Lembah Harau adalah batuan Breksi dan Konglomerat. Batuan jenis ini umumnya terdapat di dasar laut.

Salah satu air terjun di Lembah Harau, menurut legenda, Raja Hindustan berlayar bersama istri dan anaknya, Putri Sari Banilai. Perjalanan ini dalam rangka selamatan atas pertunangan putrinya dengan seorang pemuda Hindustan bernama Bujang Juaro. Sebelum berangkat, Sari Banilai bersumpah dengan tunangannya, apabila ia ingkar janji maka ia akan berubah menjadi batu dan apabila Bujang Juaro yang ingkar janji, maka ia akan berubah menjadi Ular.

Namun sayangnya, dalam perjalanan kapal tersebut terbawa oleh gelombang dan terdampar pada sebuah selat (tempat tersebut sekarang dinamakan Lembah Harau). Kapal tersebut tersekat oleh akar yang membelintang pada dua buah bukit hingga akhirnya rusak.

Agar tidak karam, kapal itu ditambatkan pada sebuah batu besar yang terdapat di pinggiran bukit (bukit tersebut sekarang dinamakan Bukit Jambu). Batu tempat tambatan kapal itu sekarang dinamakan Batu Tambatan Perahu.

Setelah terdampar, Raja Hindustan bersama dengan keluarganya disambut oleh Raja yang memerintah Harau pada waktu itu. Lama kelamaan, karena hubungan baik yang terjalin, Raja Hindustan ingin menikahkan putrinya dengan pemuda setempat bernama Rambun Paneh. Satu hal lagi, untuk kembali ke negeri Hindustan juga tidak memungkinkan. Ia tidak tahu sumpah yang telah diucapkan Sari Banilai dengan tunangannya, Bujang Juaro.
Tidak berapa lama kemudian, Rambun Paneh menikah dengan Sari Banilai.

Waktu terus berjalan, dan dari perkimpoian itu lahirlah seorang putra. Suatu hari, sang kakek, si Raja Hindustan, membuatkan mainan untuk cucunya. Sewaktu asyik bermain, mainan tersebut jatuh ke dalam laut. Anak tersebut menangis sejadi-jadinya. Ibunya, Putri Sari Banilai tanpa pikir panjang langsung terjun ke laut untuk mengambilkan mainan tersebut. Sungguh malang, ombak datang menghempaskan dan menjempit tubuhnya pada dua batu besar. Sari Banilai sadar, bahwa ia telah ingkar janji pada tunangannya dahulu, Bujang Juaro. Dalam keadaan pasrah, ia berdoa pada Yang Maha Kuasa, supaya air laut jadi surut. Doanya dikabulkan, tidak berapa lama kemudian air laut menjadi surut. Ia juga berdoa agar peralatan rumah tangganya didekatkan padanya. Dan ia berdoa, seandainya ia membuat kesalahan ia rela dimakan sumpah menjadi batu. Tidak lama berselang, perlahan-lahan tubuh Putri Sari Banilai berubah menjadi batu.

Sumber : phreakazoidz

PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA

PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA



Secara mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana dipercaya sebagai tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kangjeng Ratu Kidul, oleh karena itu letak Panggugu Sangga Buwana tersebut persis segaris lurus dengan jalan keluar kota Solo yang menuju ke Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan, hal itu memang disengaja sebab datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan.

Pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang dikendarai oleh manusia sambil memanah. Menurut Babad Surakarta, hal itu bukan sekedar hiasan semata tetapi juga dimaksudkan sebagai sengkalan milir. Bila diterjemahkan dalam kata-kata sengkalan milir itu berbunyi Naga Muluk Tinitihan Janma, yang berarti tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi yang merupakan tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana (Naga=8, Muluk=0, Tinitihan=7, dan Janma=1)

Arti lain dari sengkalan milir tersebut adalah: 8 diartikan dengan bentuknya yang segi delapan, 0 yang diartikan dengan tutup bagian atas bangunan yang berbentuk seperti topi, 7 adalah manusia yang mengendarai naga sambil memanah dan 1 diartikan sebagai tiang atau bentuk bangunannya yang seperti tiang.

Namun demikian, sebenarnya nama Panggung Sangga Buwana itu sendiri juga merupakan sebuah sengkalan milir yang merupakan kependekan dari kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Dari nama tersebut lahir dua sengkalan sekaligus yang bila diterjemahkan akan didapati dua jenis tahun yaitu tahun Jawa dan tahun Hijryah. Untuk sengkalan tahun Hijryah, Panggung berarti gabungan dua kata, PA dan AGUNG. Pa adalah huruf Jawa dan Agung adalah besar berarti huruf Jawa Pa besar yaitu angka delapan. Sedangkan Sangga adalah gabungan kata SANG da GA yang merupakan singkatan dari Sang atau sembilan dan Ga adalah huruf Jawa atau angka Jawa yang nilainya satu. Serta kata Buwana yang artinya dunia, yang bermakna angka satu pula. Dengan demikian menunjukkan angka tahun 1198 Hijryah.

Kemudian untuk sengkalan tahun Jawa kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Panggung juga tediri dari PA dan AGUNG yang berarti huruf Jawa Pa besar sama dengan 8. Luhur mempunyai makna tanpa batas yang berarti angka 0. Sinangga bermakna angka 7 dan Buwana bermakna angka 1. Shingga bila digabungkan mempunyai arti yang sama yaitu tahun 1708 Jawa. Kedua tahun tersebut, baik tahun Jawa dan Hijryah bila dimaksukkan atau dikonversikan ke tahun Masehi sama-sama menunjukkan angka 1782, saat pembangunan panggung tersebut.

Pada Panggung Sangga Buwana masih didapati sebuah sengkalan milir yang pada jaman penjajahan Belanda dirahasiakan adanya. Sebab diketahui sengkalan terakhir ini berupa sebuah ramalan tentang tahun kemerdekaan Indonesia, sehingga jelas akan menimbulkan bahaya apabila diketahui oleh Belanda. Selain itu yang namanya ramalan memang tidak boleh secara gegabah diumumkan, mengingat ketakaburan manusia yang dapat ditaksirkan akan mendahului takdir Tuhan.

Sengkalan rahasia yang dimaksud adalah terletak pada puncak atas panggung yang telah disinggung yaitu Naga Muluk Tinitihan Janma. Bentuk dari hiasan tersebut adalah manusia yang naik ular naga tengah beraksi hendak melepaskan anak panah dari busurnya, sedangkan naganya sendiri digambarkan memakai mahkota. Hal ini merupakan Sabda terselubung dari Sunan PB III yang kemudian ketika disuruh mengartikan kepada seorang punjangga karaton Surakarta yang bernama Kyai Yosodipuro, juga cocok yaitu ramalan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tahun 1945.

Naga atau ular diartikan melambangkan rakyat jelata dan mahkotanya berarti kekuasaan. Dengan demikian keseluruhan sosok naga tersebut menggambarkan adanya kekuasaan ditangan rakyat jelata. Dan gambaran manusia yang mengendarainya dengan siap melepaskan anak panah diartikan sebagai sasaran, kapan tepatnya kekuasaan berada ditangan rakyat.

Sebenarnya sosok manusia mengendarai naga tersebut dipasang juga untuk mengetahui arah mata angin dan tiang yang berada dipuncaknya dan digunakan untuk penangkal petir. Hal tersebut oleh Kyai Yosodipuro dibaca sebagai sengkalan juga yaitu keblat Rinaras Tri Buwana. Keblat = 4, Rinaras = 6, Tri = 3 dan Buwana = 1 atau tahun 1364 Hijryah, bila dimasukan atau dikonversikan ke tahun Masehi akan menjadi 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Sayangnya bangunan Sangga Buwana beserta hiasan asli dipuncaknya itu pernah terbakar dilalap api tahun 1954, tetapi hingga sekarang kepercayaan masyarakat dan legenda akan bangunan tersebut tidak pernah punah sehingga mereka tetap menghormati dan menghargainya dengan cara selalu melakukan upacara sesaji atau yang lazim disebut caos dahar pada setiap hari Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, setiap malam Jumat dan saat menjelang upacara-upacara kebesaran karaton.

Bangunan Panggung Sangga Buwana apabila dilihat sebagai sumbu dari bangunan karaton secara keseluruhan yang menghadap ke arah utara, maka semua Bangunan yang berada di sebelah kiri Panggung Sangga Buwana mempunyai hubungan vertikal dan yang sebelah kanan mempunyai hubungan horisontal. Hubungan vertikal tersebut yaitu hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kegiatan spiritual misalnya : bangunan Jonggring Selaka, Sanggar Palanggatan, Sanggar Segan, Mesjid Bandengan, Mesjid Pudyasana, Mesjid Suranatan, Mesjid Agung, Gereja Protestan Gladag dan Gereja Katolik Purbayan. Sedangkan hubungan horizontal yaitu kegiatan duniawi manusia misalnya Pasar Gading, Pasar Kliwon, Pasar Gedhe, dan sebelah timur lagi terdapat sarana transportasi Begawan Solo.

Panggung Sangga Buwana juga mempunyai arti sebagai penyangga bumi memiliki ketinggian kira-kira 30 meter sampai puncak teratas. Didalam lingkungan masyarakat Solo terdapat sebuah kepercayaan bahwa bangunan-bangunan yang berdiri di kota Solo tidak boleh melebihi dari Panggung Sangga Buwana karena mereka sangat menghormati rajanya dan mempercayai akan kegiatan yang terjadi di puncak bangunan tersebut sehingga apabila ada bangunan yang melanggarnya maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.



BENTUK PANGGUNG SANGGA BUWANA

Bentuk fisik dari Panggung Sangga Buwana adalah segi delapan atau hasta walu dalam istilah Jawa. Bentuk yang segi delapan itu diartikan sebagai hasta brata yang menurut filosifi orang Jawa adalah sifat kepepimpinan, jadi diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat yang demikian. Filsafat Jawa selalu berorientasi pada alam karana dengan alam mereka dapat menikmati hidup dan merasakan komunikasi batin manusia dengan Sang Pencipta. Orang Jawa juga mempercayai bahwa apabila bangunan yang tidak menghiraukan alam lingkungan maka bangunan tersebut akan jauh dari situasi manusiawi.



Ajaran hasta brata atau delapan laku yang merupakan ajaran kepemimpinan bagi setiap manusia. Dari ajaran tersebut diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat-sifat seperti watak kedelapan unsur alam yaitu:

1. Matahari yang diartikan sebagai seorang pemimpin harus dapat menjadi sumber hidup orang lain.
2. Bulan mengartikan penerangan dalam kegelapan.
3. Bintang sebagai petunjuk arah bagi yang tersesat
4. Bumi yang maksudnya seorang pemimpin yang baik harus kuat menerima beban hidup yang diterimanya.
5. Mendhung diharapkan sebagai pemimpin tidak mempunyai sifat yang tidak pilih kasih.
6. Api yang berarti mematangkan yang mentah
7. Samodra/Air dimaksudkan bahwa pemimpin harus dapat memahami segala kebaikan dan keburukan
8. Angin yang apabila berada dimanapun juga harus dapat membawa kesejukkan.

Seorang pemimpin yang dihormati oleh rakyatnya karena rakyat mengharapkan dengan hadirnya pemimpin yang mempunyai sifat demikian maka mereka pasti akan hidup rukun, tentram dan damai sejahtera.



Dari bentuk fisik bangunan Panggung Sangga Buwana juga melambangkan sebagai simbol lingga yang yang berdampingan dengan yoni yaitu Kori Srimanganti. Dalam kepercayaan agama hindu, lingga dan yoni melambangkan Dewa Shiwa atau Dewa Kesuburan. Simbol lingga dan yoni juga terukir atau terekam dalam bentuk ornamen di Kori Srimanganti yang berarti bahwa sebagai perantara kelahiran manusia yang juga mengingatkan hidup dalam alam paberayan senantiasa bersikap keatas dan kebawah serta ke kanan dan ke kiri. Hal ini semua mengandung arti bahwa manusia harus selalu ingat adanya Yang Menitahkan dan sekaligus mengakui bahwa manusia hanya sebagai yang dititahkan. Sedangkan ke kanan dan ke kiri dapat diartikan manusia selalu hidup bermasyarakat.


Panggung Sangga Buwana yang melambangkan lingga diartikan juga sebagai suatu kekuatan yang dominan disamping menimbulkan lingga-yoni yang juga merupakan lapisan inti atau utama dari urut-urutan bangunan Gapura Gladag di Utara hingga Gapura Gading di Selatan. Lingga dan yoni merupakan kesucian terakhir dalam hidup manusia, hal ini kemudian menimbulkan sangkang paraning dumadi yaitu dengan lingga dan yoni terjadilah manusia. Jadi dengan kata lain kesucian dalam hubungannya dengan filsafat bentuk secara simbolik dapat melambangkan hidup.

Panggung yang dilambangkan sebagai lingga dan Srimanganti sebagai yoni, juga merupakan suatu pasemon atau kiasan goda yang terbesar. Maksudnya, lingga adalah penggoda yoni, dan sebaliknya yoni merupakan penggoda lingga. Seterusnya, panggung dan kori itu juga merupakan lambang yang bisa diartikan demikian: seorang lelaki dalam menghadapi sakaratul maut, yaitu ketika ia hampir berangkat menuju ke hadirat Tuhan, ia akan sangat tergoda oleh wanita atau sebaliknya. Begitu pula sebaliknya wanita, ketika dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ia pun sangat tergoda atau sangat teringat akan pria atau kekasihnya. Begitulah makna yang terkandung atau perlambang yang terkandung di dalam Panggug Sangga Buwana bersama Kori Srimanganti yang selalu berdekatan.



FUNGSI PANGGUNG SANGGA BUWANA

Versi lain mengatakan bahwa Panggung Sangga Buwana ditilik dari segi historisnya, pendirian bangunan tersebut disengaja untuk mengintai kegiatan di Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada disebelah timur laut karaton. Memang tampaknya, walaupun karaton Surakarta tuduk pada pemerintahan Belanda, keduanya tetap saling mengintai. Ibarat minyak dan air yang selalu terpisah jelas kendati dalam satu wadah. Belanda mendirikan Benteng Vastenburg untuk mengamati kegiatan karaton, sedangkan PB III yang juga tidak percaya pada Belanda, balas mendirikan Panggung Sangga Buwana untuk mengintai kegiatan beteng.

Namun tak-tik PB III sempat diketahui oleh Belanda. Setidaknya Belanda curiga terhadap panggung yang didirikan itu. Dan ketika di tegur, PB III berdalih bahwa panggung tersebut didirikan untuk upacara dengan Kangjeng Ratu Kidul semata tanpa tendensi politik sedikitpun.

Lantai teratas merupakan inti dari bangunan ini, yang biasa disebut tutup saji. Fungsi atau kegunaan dari ruang ini bila dilihat secara strategis dan filosofis atau spiritual adalah:

1. Secara strategis, dapat digunakan untuk melihat Solo dan sekitarnya. Untuk dapat melihat kota Solo dari lantai atas panggung dan tidak sembarangan orang yang dapat menaiki, ada petugas yang memang bertugas untuk melihat dengan menggunakan teropong atau kadang-kadang raja Surakarta sendiri yang melakukan pengintaian. Pada jaman dulu raja sering naik keatas untuk melihat bagaimana keadaan kota, rakyat dan musuh.
2. Segi filosofi dan spiritualnya, Panggung Sanggga Buwana merupakan salah satu tempat yang mempunyai hubungan antara Kengjeng Ratu Kencono Sari dengan raja Jawa setempat. Hal yang memperkuat keyakinan bahwa raja-raja Jawa mempunyai hubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul atau Kangjeng Ratu Kencono Sari yang dipercaya sebagai penguasa laut dalam hal ini di Laut Selatan dan raja sebagai penguasa daratan, jadi komunikasi didalam tingkatan spiritual antara raja sebagai penguasa didaratan dan Kangjeng Ratu Kencono Sari sebagai penguasa lautan dikaitkan dengan letak geografis Nusantara sebagai negara maritim.



Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang tutup saji ini digunakan sebagai:

1. tempat meditasi bagi raja, karena letaknya yang tinggi dan ruang ini memberikan suasana hening dan tentram
2. tempat meraga sukma bagi raja, untuk mengadakan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul.
3. Tempat untuk mengawasi keadaan atau pemandangan sekeliling karaton.



Pada lantai teratas digunakan untuk bersemedi raja dan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul terdapt dua kursi yang diperuntukkan bagi raja (kursi sebelah kiri) dan Ratu Kidul (kursi sebelah kanan) yang menghadap ke arah selatan. Arah orientasi dari bangunan ini adalah ke selatan; pintu masuk dari arah selatan dengan tujuan untuk menghormati Kangjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Diantara dua buah kursi terdapat sebuah meja yang digunakan untuk meletakkan panggageman Kangjeng Ratu Kidul didalam sebuah kotak. Pangageman tersebut diganti setiap tahun menjelang acara Jumenengan raja.




*disarikan dari berbagai media

Kanjeng Ratu Kidul... (versi jawa)

Kanjeng Ratu Kidul... (versi jawa)



Terdapat berbagai macam versi mitos Kangjeng Ratu Kidul antara lain berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro.

Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.

Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin (beringin) putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon tersebut Raja lelembut yang bertempat tinggal disana yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah/mukswa ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.

Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkimpoiannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).

Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.

Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat Wedatama yang berbunyi:


Wikan wengkoning samodra,
Kederan wus den ideri,
Kinemat kamot hing driya,
Rinegan segegem dadi,
Dumadya angratoni,
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.

terjemahan bebas :

Tahu akan batas samudra
Semua telah dijelajahi
Dipesona nya masuk hati
Digenggam satu menjadi
Jadilah ia merajai
Syahdan Sang Ratu Kidul
Terbang tinggi mengangkasa
Lalu datang bersembah
Kalah perbawa terhadap
Junjungan Mataram

Yang artinya : Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra, seluruhnya sudah dilalui/dihayati, dirasakan dan meresap dalam sanubari, ibarat digenggam menjadi satu genggaman, sehingga terkuasai. Tersebutlah Kangjeng Ratu Kidul, naik ke angkasa, datang menghadap dengan hormat, kalah wibawa dengan raja Mataram.


Mitos Pertemuan Kangjeng Ratu Kidul Dengan Penembahan Senopati.

Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.


Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli (bertapa dengan hanyut di atas air), sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo, kemudian tiba-tiba di Laut Selatan terjadilah badai laut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.


Dalam pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kangjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya.

Kangjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai raja di Laut Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kangjeng Ratu Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkimpoian antara Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.

Adanya perkimpoian itu konon mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.

Menurut sejarah bahwa Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang beristrikan Kangjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja Mataram ,termasuk Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-raja karaton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati yaitu menjadi suami dari Kangjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja Paku Buwana III selaku suami Kangjeng Ratu Kidul telah mendirikan Panggung Sangga Buawana sebagai tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta sebagai suami Kangjeng Ratu Kidul berlangsung terus sampai dengan raja Paku Buwana X. Alkisah Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku Buwana X terpeleset dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil diselamatkan oleh Kangjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul berseru : “Anakku ngGer…………..” (Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kangjeng Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati.


“Sejak saat itu hubungan kedudukan mereka berdua berubah bukanlah lagi sebagai suami istri , tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X selanjutnya.”




*disarikan dari beberapa site

Legenda Pantai Selatan III... Biding Laut (versi Batak)

Legenda Pantai Selatan III... Biding Laut (versi Batak)


Dikisahkan, perjalanan etnis Batak dimulai dari seorang raja yang mempunyai dua orang putra. Putra sulung diberi nama Guru Tatea Bulan dan kedua diberi nama Raja Isumbaon.

Putra sulungnya, yakni Guru Tatea Bulan memiliki 11 anak (5 putera dan 6 puteri). Kelima putera bernama: Raja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Lau Raja. Sedangkan keenam puteri bernama: Biding Laut, Siboru Pareme, Paronnas, Nan Tinjo, Bulan dan Si Bunga Pandan.

Putri tertua yakni Biding Laut memiliki kecantikan melebihi adik perempuan lainnya. Dia juga memiliki watak yang ramah dan santun kepada orangtuanya. Karena itu, Biding Laut tergolong anak yang paling disayangi kedua orangtuanya.

Namun, kedekatan orangtua terhadap Biding Laut ini menimbulkan kecemburuan saudara-saudaranya yang lain. Mereka lalu bersepakat untuk menyingkirkan Biding Laut.

Suatu ketika, saudara-saudaranya menghadap ayahnya untuk mengajak Biding Laut jalan-jalan ke tepi pantai Sibolga. Permintaan itu sebenarnya ditolak Guru Tatea Bulan, mengingat Biding Laut adalah puteri kesayangannya. Tapi saudara-saudaranya itu mendesak terus keinginannya, sehingga sang ayah pun akhirnya tidak dapat menolaknya.

Pada suatu hari, Biding Laut diajak saudara-saudaranya berjalan-jalan ke daerah Sibolga. Dari tepi pantai Sibolga, mereka lalu menggunakan 2 buah perahu menuju ke sebuah pulau kecil bernama Pulau Marsala, dekat Pulau Nias.

Tiba di Pulau Marsala, mereka berjalan-jalan sambil menikmati keindahan pulau yang tidak berpenghuni tersebut. Sampai saat itu, Biding Laut tidak mengetahui niat tersembunyi saudara-saudaranya yang hendak mencelakakannya. Biding Laut hanya mengikuti saja kemauan saudara-saudaranya berjalan semakin menjauh dari pantai.

Menjelang tengah hari, Biding Laut merasa lelah hingga dia pun beristirahat dan tertidur. Dia sama sekali tidak menduga ketika dirinya sedang lengah, kesempatan itu lalu dimanfaatkan saudara-saudaranya meninggalkan Biding laut sendirian di pulau itu.

Di pantai, saudara-saudara Biding Laut sudah siap menggunakan 2 buah perahu untuk kembali ke Sibolga. Tetapi salah seorang saudaranya mengusulkan agar sebuah perahu ditinggalkan saja. Dia khawatir kalau kedua perahu itu tiba di Sibolga akan menimbulkan kecurigaan. Lebih baik satu saja yang dibawa, sehingga apabila ada yang menanyakan dikatakan sebuah perahunya tenggelam dengan memakan korban Biding Laut.

Tapi apa yang direncanakan saudara-saudaranya itu bukanlah menjadi kenyataan, karena takdir menentukan lain.

Ketika terbangun dari tidurnya, Biding Laut terkejut mendapati dirinya sendirian di Pulau Marsala. Dia pun berlari menuju pantai mencoba menemui saudara-saudaranya. Tetapi tidak ada yang dilihatnya, kecuali sebuah perahu.

Biding laut tidak mengerti mengapa dirinya ditinggalkan seorang diri. Tetapi dia pun tidak berpikiran saudara-saudaranya berusaha mencelakakannya. Tanpa pikir panjang, dia langsung menaiki perahu itu dan mengayuhnya menuju pantai Sibolga.

Tetapi ombak besar tidak pernah membawa Biding Laut ke tanah kelahirannya. Selama beberapa hari perahunya terombang-ombang di pantai barat Sumatera. Entah sudah berapa kali dia pingsan karena kelaparan dan udara terik. Penderitaannya berakhir ketika perahunya terdampar di Tanah Jawa, sekitar daerah Banten.

Seorang nelayan yang kebetulan melihatnya kemudian menolong Biding Laut. Di rumah barunya itu, Biding Laut mendapat perawatan yang baik. Biding Laut merasa bahagia berada bersama keluarga barunya itu. Dia mendapat perlakuan yang sewajarnya. Dalam sekejap, keberadaannya di desa itu menjadi buah bibir masyarakat, terutama karena pesona kecantikannya.

Dikisahkan, pada suatu ketika daerah itu kedatangan seorang raja dari wilayah Jawa Timur. Ketika sedang beristirahat dalam perjalanannya, lewatlah seorang gadis cantik yang sangat jelita bak bidadari dari kayangan dan menarik perhatian Sang Raja. Karena tertariknya, Sang Raja mencari tahu sosok jelita itu yang ternyata Biding Laut. Terpesona kecantikan Biding Laut, sang raja pun meminangnya.

Biding Laut tidak menolak menolak pinangan itu, hingga keduanya pun menikah. Selanjutnya Biding Laut dibawanya serta ke sebuah kerajaan di Jawa Timur.

Biding Laut hidup berbahagia bersama suaminya yang menjadi raja. Tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Terjadi intrik di dalam istana yang menuduh Biding Laut berselingkuh dengan pegawai kerajaan. Hukum kerajaan pun ditetapkan, Biding Laut harus dihukum mati.

Keadaan ini menimbulkan kegalauan Sang Raja. Dia tidak ingin isteri yang sangat dicintainya itu di hukum mati, sementara hukum harus ditegakkan. Dalam situasi ini, dia lalu mengatur siasat untuk mengirim kembali Biding Laut ke Banten melalui lautan.

Menggunakan perahu, Biding Laut dan beberapa pengawal raja berangkat menuju Banten. Mereka menyusuri Samudera Hindia atau yang dikenal dengan Laut Selatan.

Namun malang nasib mereka. Dalam perjalanan itu, perahu mereka tenggelam diterjang badai. Biding Laut dan beberapa pengawalnya tenggelam di Laut Selatan.

Legenda Pantai Selatan I... Nyai Loro Kidul (versi Sunda)

Legenda Pantai Selatan I... Nyai Loro Kidul (versi Sunda)


Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja.

Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. "Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku", kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. "Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya." Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. "Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri," kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.

Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.



Legenda Pantai Selatan II... Kanjeng Ratu Loro Kidul (versi Jawa)



Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.

Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta. 
   
     

Keong Emas



KEONG MAS


Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama Galoran. Ia termasuk orang yang disegani karena kekayaan dan pangkat orangtuanya. Namun Galoran sangatlah malas dan boros. Sehari-hari kerjanya hanya menghambur-hamburkan harta orangtuanya, bahkan pada waktu orang tuanya meninggal dunia ia semakin sering berfoya-foya. Karena itu lama kelamaan habislah harta orangtuanya. Walaupun demikian tidak membuat Galoran sadar juga, bahkan waktu dihabiskannya dengan hanya bermalas-malasan dan berjalan-jalan. Iba warga kampung melihatnya. Namun setiap kali ada yang menawarkan pekerjaan kepadanya, Galoran hanya makan dan tidur saja tanpa mau melakukan pekerjaan tersebut. Namun akhirnya galoran dipungut oleh seorang janda berkecukupan untuk dijadikan teman hidupnya. Hal ini membuat Galoran sangat senang ; "Pucuk dicinta ulam pun tiba", demikian pikir Galoran.

Janda tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang sangat rajin dan pandai menenun, namanya Jambean. Begitu bagusnya tenunan Jambean sampai dikenal diseluruh dusun tersebut. Namun Galoran sangat membenci anak tirinya itu, karena seringkali Jambean menegurnya karena selalu bermalas-malasan.

Rasa benci Galoran sedemikian dalamnya, sampai tega merencanakan pembunuhan anak tirinya sendiri. Dengan tajam dia berkata pada istrinya : " Hai, Nyai, sungguh beraninya Jambean kepadaku. Beraninya ia menasehati orangtua! Patutkah itu ?" "Sabar, Kak. Jambean tidak bermaksud buruk terhadap kakak" bujuk istrinya itu. "Tahu aku mengapa ia berbuat kasar padaku, agar aku pergi meninggalkan rumah ini !" seru nya lagi sambil melototkan matanya. "Jangan begitu kak, Jambean hanya sekedar mengingatkan agar kakak mau bekerja" demikian usaha sang istri meredakan amarahnya. "Ah .. omong kosong. Pendeknya sekarang engkau harus memilih .. aku atau anakmu !" demikian Galoran mengancam.

Sedih hati ibu Jambean. Sang ibu menangis siang-malam karena bingung hatinya. Ratapnya : " Sampai hati bapakmu menyiksaku jambean. Jambean anakku, mari kemari nak" serunya lirih. "Sebentar mak, tinggal sedikit tenunanku" jawab Jambean. "Nah selesai sudah" serunya lagi. Langsung Jambean mendapatkan ibunya yang tengah bersedih. "Mengapa emak bersedih saja" tanyanya dengan iba. Maka diceritakanlah rencana bapak Jambean yang merencanakan akan membunuh Jambean. Dengan sedih Jambean pun berkata : " Sudahlah mak jangan bersedih, biarlah aku memenuhi keinginan bapak. Yang benar akhirnya akan bahagia mak". "Namun hanya satu pesanku mak, apabila aku sudah dibunuh ayah janganlah mayatku ditanam tapi buang saja ke bendungan" jawabnya lagi. Dengan sangat sedih sang ibu pun mengangguk-angguk. Akhirnya Jambean pun dibunuh oleh ayah tirinya, dan sesuai permintaan Jambean sang ibu membuang mayatnya di bendungan. Dengan ajaib batang tubuh dan kepala Jambean berubah menjadi udang dan siput, atau disebut juga dengan keong dalam bahasa Jawanya.

Tersebutlah di Desa Dadapan dua orang janda bersaudara bernama Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil. Kedua janda itu hidup dengan sangat melarat dan bermata pencaharian mengumpulkan kayu dan daun talas. Suatu hari kedua bersaudara tersebut pergi ke dekat bendungan untuk mencari daun talas. Sangat terpana mereka melihat udang dan siput yang berwarna kuning keemasan. "Alangkah indahnya udang dan siput ini" seru Mbok Rondo Sambega "Lihatlah betapa indahnya warna kulitnya, kuning keemasan. Ingin aku bisa memeliharanya" serunya lagi. "Yah sangat indah, kita bawa saja udang dan keong ini pulang" sahut Mbok Rondo Sembadil. Maka dipungutnya udang dan siput tersebut untuk dibawa pulang. Kemudian udang dan siput tersebut mereka taruh di dalam tempayan tanah liat di dapur. Sejak mereka memelihara udang dan siput emas tersebut kehidupan merekapun berubah. Terutama setiap sehabis pulang bekerja, didapur telah tersedia lauk pauk dan rumah menjadi sangat rapih dan bersih. Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil juga merasa keheranan dengan adanya hal tersebut. Sampai pada suatu hari mereka berencana untuk mencari tahu siapakah gerangan yang melakukan hal tersebut.

Suatu hari mereka seperti biasanya pergi untuk mencari kayu dan daun talas, mereka berpura-pura pergi dan kemudian setelah berjalan agak jauh mereka segera kembali menyelinap ke dapur. Dari dapur terdengar suara gemerisik, kedua bersaudara itu segera mengintip dan melihat seorang gadis cantik keluar dari tempayan tanah liat yang berisi udang dan Keong Emas peliharaan mereka. "tentu dia adalah jelmaan keong dan udang emas itu" bisik Mbok Rondo Sambega kepada Mbok Rondo Sembadil. "Ayo kita tangkap sebelum menjelma kembali menjadi udang dan Keong Emas" bisik Mbok Rondo Sembadil. Dengan perlahan-lahan mereka masuk ke dapur, lalu ditangkapnya gadis yang sedang asik memasak itu. "Ayo ceritakan lekas nak, siapa gerangan kamu itu" desak Mbok Rondo Sambega "Bidadarikah kamu ?" sahutnya lagi. "bukan Mak, saya manusia biasa yang karena dibunuh dan dibuang oleh orang tua saya, maka saya menjelma menjadi udang dan keong" sahut Jambean lirih. "terharu mendengar cerita Jambean kedua bersaudara itu akhirnya mengambil Keong Emas sebagai anak angkat mereka. Sejak itu Keong Emas membantu kedua bersaudara tersebut dengan menenun. Tenunannya sangat indah dan bagus sehingga terkenallah tenunan terebut keseluruh negeri, dan kedua janda bersaudara tersebut menjadi bertambah kaya dari hari kehari.

Sampailah tenunan tersebut di ibu kota kerajaan. Sang raja muda sangat tertarik dengan tenunan buatan Jambean atau Keong Emas tersebut. Akhirnya raja memutuskan untuk meninjau sendiri pembuatan tenunan tersebut dan pergi meninggalkan kerajaan dengan menyamar sebagai saudagar kain. Akhirnya tahulah raja perihal Keong Emas tersebut, dan sangat tertarik oleh kecantikan dan kerajinan Keong Emas. Raja menitahkan kedua bersaudara tersebut untuk membawa Jambean atau Keong Emas untuk masuk ke kerajaan dan meminang si Keong Emas untuk dijadikan permaisurinya. Betapa senang hati kedua janda bersaudara tersebut.

11 Lakkhana Jathaka

Lakkhana Jathaka



Di kota Rajagaha di kerajaan Magadha ada seorang raja memerintah Magadha ,  Bodhisatta lahir kembali sebagai seekor rusa. Ia tinggal di hutan sebagai pemimpin dari ribuan rusa. Dia memiliki dua anak yang bernama Leader dan Blackie. Ketika ia menjadi tua, ia menyerahkan tanggung jawabnya kepada kedua putranya, menempatkan lima ratus rusa di bawah asuhan masing-masing. Dan sekarang kedua rusa muda itu bertanggung jawab ataskelompok rusa-rusa tersebut.

Pada waktu musim panen di Magadha itu merupakan waktu yang berbahaya bagi para rusa. Karena para petani memasang jebakan yang tertutup oleh rumput-rumputan, dan juga memanah rusa rusa tersebut sehingga banyak rusa yang terperangkap dan mati.

Ketika Sang Pemimpin rusa yang sudah tua mengetahui bahwa saat ini adalah saat musim panen ia memanggil kedua putranya untuk membawa kelompok mereka mengungsi ke tempat yang aman sampai musim panen berlalu barulah mereka kembali lagi ke tempat asal mereka. Sedangkan pemimpin rusa tidak ikut mengungsi ia berjaga di tempat lama. Sang pemimpin rusa memerintahkan anaknya untuk melalui perjalan di bukit dan bersembunyi di hutan.

Kedua Anak rusa tersebut kemudian membawa kawanan rusa tersebut untuk mencari tempat yang lebih aman.  Blackie membawa kelompoknya pindah pada pagi hari dan kemudian para pemburu rusa mengetahui hal tersebut mereka memanah kawanan rusa tersebut sehingga kelompok rusa yang di pimpin oleh Blackie banyak yang mati . 


Tetapi tidak demikian dengan Leader, ia beristirahat pada pagi hingga sore hari dan melanjutkan perjalanan pada malam hari sehingga tidak ada seekor rusa pun yang mati. Ia tinggal di huntan yang baru hingga panen berlalu. Kemudian dia membawa kelompoknya untuk kembali lagi dan Ia tetap melakukan perjalan di malam hari. 
Pada saat kembali ke tempat asal mereka kelompok yang di pimpin oleh Leader tidak kekurangan satu rusa pun, tetapi kelompok yang di pimpin oleh Blackie banyak rusa yang mati di panah oleh pemburu. Pada saat itu Sang pemimpin rusa yang telah tua menyaksikan hal tersebut ia berkata "Hanya di bawah pimpinan Pemimpin yang bijaksanalah rakyatnya akan selamat sejahtera" kemudian raja mewariskan pimpinannya kepada Leader.

Siswa Utama Sang Buddha-Yang Ariya Sariputta Thera


YANG ARIYA SARIPUTTA
Siswa Sang Bhagava yang Terkemuka dalam Kebijaksanaan



( Yang Ariya SAriputta Thera )


Pada suatu pagi Sariputta melihat YA Assaji, salah seorang bhikkhu siswa pertama Sang Buddha sedang menerima dana makanan di Rajagaha. Ia sangat terkesan melihat penampilan YA Assaji yang damai dan agung. Ia berpikir bahwa pastilah bhikkhu itu telah mencapai arahat. Ketika YA Assaji selesai makan, ia mendekati dan memberi salam untuk kemudian bertanya siapakah guru beliau dan ajaran apakah yang diajarkan oleh gurunya itu. YA Assaji memberi tahukan bahwa gurunya adalah Sang Buddha Gotama dan bahwa beliau tidak dapat menerangkan ajaran tersebut secara panjang lebar karena belum lama menjadi bhikkhu tetapi dapat menjelaskan artinya secara singkat. Kemudian beliau mengucapkan syair berikut:

"Ye dhamma hetuppabhava,
Tesam hetum tathagato aha;
Tesañca yo nirodho ca
Evam vadi mahasamano"

"Semua benda timbul karena suatu sebab,
'Sebab' itu telah diberitahukan oleh Sang Tathagata;
Dan juga lenyapnya
Demikianlah yang diajarkan oleh
Sang Petapa Agung"

Mendengar syair tersebut, Sariputta memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan menjadi seorang Sotapanna (orang yang mencapai tingkat kesucian pertama).

Sariputta terlahir di desa Upatissa dekat Rajagaha. Karena ia adalah anak tertua dari keluarga utama di desa itu, nama pribadinya menjadi Upatissa. Ayahnya adalah seorang Brahmana bernama Vanganta dan ibunya bernama Rupasari, oleh karena itulah ia dikenal pula sebagai Sariputta (putera dari Sari). Ia mempunyai tiga adik laki-laki dan tiga adik perempuan, yang kesemuanya di kemudian hari memasuki Sangha. Sejak kecil Sariputta sudah memperlihatkan kepandaian yang istimewa. Mula-mula ia belajar kepada ayahnya yang mempunyai pandangan yang bijaksana dalam pengetahuan-nya sebagai seorang Brahmana. Ia mempelajari Veda (Kitab Suci Agama Hindu). Pada usia delapan tahun ia mulai belajar dengan seorang guru, dan pada usia enam belas tahun ia sudah terkenal di daerah tempat tinggalnya.


Pada hari kelahirannya, terlahir pula seorang anak laki-laki di desa Kolita, sehingga anak itu disebut Kolita. Ayahnya adalah kepala desa dan ibunya adalah seorang Brahmana bernama Moggali sehingga anak itu disebut pula sebagai Moggallana. Upatissa dan Moggallana berteman sejak masa kanak-kanak mereka. Mereka bersama-sama pula menikmati kesenangan hidup. Sampai pada suatu ketika mereka menyadari bahwa pada akhirnya semua manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itulah keduanya bersepakat, untuk meninggalkan hidup keduniawian untuk mencari jalan yang dapat membebaskan diri dari kematian.


Mereka kemudian pergi untuk berguru kepada seorang guru terkenal saat itu yang bernama Sañjaya. Karena kemampuannya yang luar biasa, Sariputta dan Moggallana segera diakui sebagai murid yang utama diantara murid-murid lainnya. Tetapi meskipun mereka telah menguasai semua ajaran yang diberikan oleh Sañjaya, mereka belum juga menemukan jalan pembebasan yang dicari. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka yang kelak lebih dulu memperoleh Ajaran Sempurna akan memberitahukan hal itu kepada lainnya.


Maka segera setelah Sariputta bertemu dengan YA Assaji, beliau menemui Moggallana dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya dan mengulangi syair yang diucapkan oleh YA Assaji. Seketika itu pula Moggallana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka menyampaikan hal ini kepada Sañjaya. Namun Sañjaya menolak untuk pergi bersama mereka menemui Sang Buddha. Keduanya lalu pergi bersama dua ratus lima puluh murid Sañjaya ke Vihara Veluvana untuk menemui Sang Buddha. Mereka memohon penahbisan dan Sang Buddha menerima mereka ke dalam Sangha dengan kata-kata "Ehi Bhikkhu".


Tujuh hari setelah ditahbiskan, Moggallana mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi) setelah mendapat petunjuk dari Sang Buddha. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Sariputta berdiam bersama Sang Buddha di gua Sukarakhta di gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha. Seorang petapa Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan bertanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian mengkhotbahkan Vedanapariggha kepada petapa tersebut. Mendengar sutta itu Sariputta pun menjadi seorang Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi).


YA Sariputta dan YA Moggallana merupakan siswa-siswa yang mulia dan termashyur, merupakan Siswa Kepala (Aggisavaka) yang membantu Sang Buddha dalam menyampaikan Ajaran kepada dunia.


( Relic suci Yang Ariya Sariputta Thera )


Dalam suatu pertemuan para bhikkhu Sang Buddha menyatakan bahwa YA Sariputta adalah siswa yang terkemuka dalam kebijaksanaan, dan YA Moggallana adalah yang terkemuka dalam kekuatan gaib. Dalam hal kebijaksanaan, YA Sariputta adalah yang kedua setelah Sang Buddha. Beliau sangat ahli dalam mengajarkan tentang sebab akibat, Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan. Beliau amat pandai menguraikan dengan terinci intisari Ajaran Sang Buddha kepada orang lain. Sang Buddha pernah bersabda "Bila kamu meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi bhikkhu, kamu harus seperti Sariputta dan Moggallana. Berusahalah untuk mendekati dan meminta mereka untuk mengajarimu".


Meskipun YA Sariputta dikenal sebagai Siswa Kepala, beliau tidak mementingkan diri sendiri. Beliau adalah seseorang yang tahu berterima kasih, rendah hati, penuh belas kasihan dan sabar. Beliau senang mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain sedang melakukan pindapata, beliau mengelilingi seluruh bangunan vihara, menyapu tempat-tempat yang belum tersapu, mengisi saluran-saluran yang kosong dengan air, mengatur perabotan dan sebagainya. Khotbahnya, Sangiti Sutta dan Dasuttara Sutta adalah permulaan dari cita-citanya mengulangi Ajaran Sang Buddha untuk menjaga dan mempertahankan kemurniannya dan agar ajaran itu tetap terlindung. Apabila Sang Buddha adalah Dhammaraja (Raja dari Ajaran), maka YA Sariputta adalah Dhammasenapati (Panglima dari Ajaran).


Ketika Sang Buddha mengunjungi kerajaan Sakya, Rahula, putra-Nya meminta harta kepadanya. Untuk memberi harta yang agung kepada Rahula, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menahbiskan Rahula. YA Sariputta menjadi Upajjhaya dari Rahula sedangkan YA Moggallana menjadi Acariya bagi Rahula. Ketika Sang Buddha mengkhotbahkan Abhidhamma kepada ibunya dan dewa-dewa di surga Tavatimsa, YA Moggallana tinggal bersama orang-orang yang menunggu kembalinya Sang Buddha. Sementara itu, setiap hari pertama Sang Buddha pergi ke danau Anottata untuk mandi dan istirahat siang, YA Sariputta mengunjungi Sang Buddha dan mempelajari semua yang telah dikhotbahkan. Setelah itu beliau mengajarkannya kepada lima ratus siswanya.


Pada saat Devadatta menimbulkan perpecahan di antara para bhikkhu dan membawa lima ratus bhikkhu yang baru ditahbiskan ke Gayasisa, Sang Buddha mengirim kedua Siswa Kepala untuk membawa mereka kembali. Mereka berhasil melaksanakan tugas tersebut dan kembali kepada Sang Buddha bersama kelima ratus bhikkhu itu.


Kurang lebih enam bulan sebelum Sang Buddha wafat, YA Sariputta merasa bahwa akhir hidupnya telah menjelang. Beliau memohon ijin kepada Sang Buddha untuk mencapai Parinibbana (wafat). Setelah diijinkan, YA Sariputta pulang ke desa Nalaka yang merupakan tempat kelahirannya. Para dewa dan Brahma mengunjunginya sehingga membuat ibunya takjub karena Brahma yang dipujanya ternyata menghormati putranya.



( Stupa Yang Ariya Sariputta , Nalanda, India )

Pada saat itulah YA Sariputta mengajarkan Dhamma kepada ibunya dan membuatnya yakin kepada Sang Tiratana. Kepada seorang bhikkhu yang ikut bersamanya beliau berkata, "Saya telah bersama-sama denganmu selama lebih dari empat puluh tahun. Kalau saya mempunyai kesalahan, maafkanlah saya." Itulah kata-katanya yang terakhir. Malam itu beliau merebahkan dirinya di tempat tidur dan dengan tenang mencapai Parinibbana (wafat). Relik beliau dibawa ke Savatthi dan Sang Buddha memerintahkan membuat cetiya untuk menyimpan relik tesebut.




( Stupa Yang Ariya Sariputta, Nalanda, India )


http://www.vikasindo.org/index.php?option=com_content&view=article&id=117&Itemid=73 

Selasa, 28 September 2010

Santhava Jataka

Santhava Jataka



Kisah ini diceritakan oleh sang Guru saat bertempat tinggal di Jetavana, tentang pemujaan api suci. Masalahnya sama seperti kelahiran Nanguttha. Para Bhikkhu, setelah mengamati kaum pemuja api, berkata kepada Yang Terberkahi, "Yang Mulia, ada petapa berambut jambul yang mempraktikkan segala macam pertapaan sesat. Apakah kebaikannya?" "Tak ada kebaikannya," Kata Sang Guru.

"Sebelumnya, para orang bijak pun berpendapat ada beberapa kebaikan dalam pemujaan api suci, tapi setelah melaksanakannya sekian lama, menyadari bahwa tiada kebaikannya, dan telah memadamkannya dengan air, dan memberes-bereskannya dengan kayu, tak pernah memandangnya begitu perlu sejak itu." Lalu Beliau menceritakan mereka kisahnya.

Dahulu kala, saat Brahmadatta menjadi raja di Benares, Sang Bodhisattva terlahir di keluarga brahmana. Ketika dia berusia sekitar enam belas tahun, ayah dan bundanya mengambil api kelahirannya dan berujar kepadanya demikian: "Putraku, maukah kau membawa api kelahiranmu ke dalam hutan, menyembah api itu di sana; atau maukah kau mendalami Tiga Veda, menetap sebagai pria yang menikah, dan hidup dalam keduniawian?" Kata dia, "Tiada kehidupan duniawi untukku: Saya akan memuja apiku di hutan, dan mencapai jalan ke surga." Sambil membawa api kelahirannya, dia berpamitan kepada orang tuanya, dan masuk hutan, tempat dia tinggal di gubuk yang terbuat dari dahan- dahan dan dedaunan dan hidup dan memuja api itu.

Suatu hari, dia diundang ke suatu tempat di mana dia memperoleh persembahan nasi dan susu ghee. "Nasi ini," pikirnya, "Akan aku persembahkan kepada Brahma Agung." Maka dia membawa pulang nasi itu, dan menyalakan api. Lalu dengan ucapan, "Dengan nasi ini aku haturkan kepada nyala suci," dia memanggangnya di atas api. Perlahan-lahan nasi itu jatuh di atas api, yang semuanya penuh lemak saat nyala yang liar melunjak membakar pertapaannya. Lalu brahmana itu bergegas dengan cemas, dan duduk di kejauhan. "Tak ada perlunya meladeni yang jahat," katanya, "Dan begitulah api ini telah membakar gubuk yang kubuat dengan susah payah!" Dan dia mengulangi bait pertama:

"Tiada yang lebih buruk daripada ditemani kejahatan;

Aku persembahkan apiku dengan banyak nasi dan susu;

Dan lihatlah! gubuk yang dengan susah kubangun,

Apiku telah memusnahkannya."

"Aku telah selesai denganmu kini, kawan palsu!" Dia tambahkan; dan dia menuang air di atas api, dan mematikannya dengan kayu-kayu, dan mengucilkan dirinya di pegunungan. Di sana dia menjumpai kelokan gelap pada tampang singa, harimau, dan macan. Ini membuatnya berpikir betapa tiada yang lebih baik daripada teman-teman baik; dan diulanginya bait kedua:

"Tiada yang lebih baik daripada mengawani yang baik;

Macam persahabatan kental yang kusaksikan di sini;

Lihatlah singa, harimau dan macan--

Kelokan hitam meliputi tampang ketiga-tiganya."

Dengan renungan ini Sang Bodhisattva mendekam di ketinggian pegunungan, dan di sana dia mengenyam kehidupan religius sejati, mengolah Pembebasan dan Pencapaian, sampai akhir hidupnya dan melampaui alam Brahma. Setelah mengungkapkan bahasan ini, sang Guru mengenalkan Kelahiran: "Pada masa itu akulah pertapa dalam kisah itu."

Makhadeva Jataka Jataka 9

Sumber: http://www.sacred-texts.com/bud/j1/j1012.htm
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen

Picture source:
http://www.jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=127:09-makhadeva-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
********************************************************************************************************
Inilah rambut uban itu!” – Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana mengenai Pelepasan Agung, yang juga terkait dalam Nidāna-katha.
Pada kesempatan ini, para bhikkhu duduk memuji kisah Pelepasan Agung Buddha. Sang Bhagava kemudian berjalan memasuki Ruang Kebenaran dan duduk di tempat yang telah disediakan, Buddha Gotama kemudian bertanya pada para bhikkhu: – “Apa tema, o para bhikkhu, yang kalian perbincangkan dalam pertemuan ini?”
“Itu tidak lain, Yang Mulia, adalah tentang kisah Pelepasan Agung Anda sendiri.”
“Saudara-saudara,” jawab sang Guru, “tidak hanya dalam kehidupan ini saja Tathagata melakukan Pelepasan Agung; pada hari-hari di kehidupan lampau Tathagata juga meninggalkan dunia.”
Para bhikkhu bertanya pada Sang Bhagava penjelasan mengenai hal ini. Sang Bhagava menyingkap dengan jelas apa yang telah tersembunyi dari mereka oleh kelahiran kembali.
*****************************************************************************************************
Pada suatu ketika di Mithila di kerajaan Videha hiduplah seorang raja bernama Makhādeva, yang hidup dengan benar dan memerintah dalam kebenaran pula. Untuk periode berturut-turut selama delapan puluh empat ribu tahun ia telah menyenangkan dirinya dengan menjadi pangeran, memerintah sebagai raja muda, dan kemudian memerintah sebagai raja. Selama bertahun-tahun telah ia lalui, sampai pada suatu hari ia berkata kepada tukang cukurnya, -
“Katakanlah padaku, teman tukang cukur, ketika Anda melihat ada uban di kepalaku.”
Jadi suatu hari, bertahun-tahun setelah itu, si tukang cukur itu menemukan sehelai rambut beruban raja, dan dia pun mengatakannya kepada raja.
“Cabutlah rambut itu, temanku,” kata raja; “dan letakkan di telapak tanganku.”
Si tukang cukur rambut mencabut uban itu dengan penjepit emasnya dan meletakkannya di tangan raja. Raja pada saat itu masih memiliki delapan puluh empat ribu tahun lagi untuk hidup; namun demikian, saat ia melihat sehelai rambutnya beruban ia dipenuhi dengan emosi yang mendalam. Dia tampak melihat Raja Maut berdiri di atasnya.
“Bodoh kamu Makhādeva!” ia berseru; “uban telah datang kepadamu sebelum kamu telah membebaskan dirimu dari keburukan moral.”
Dan ketika dia berpikir dan berpikir tentang penampilan dari rambut ubannya, tumbuh semangat dalam dirinya; keringat bergulir turun dari tubuhnya; sementara pakaiannya tampak tak tertahankan. “Hari ini,” pikir dia, “Aku akan meninggalkan dunia untuk menjalani kehidupan suci.”
Kepada tukang cukurnya ia memberikan hadiah sebuah desa yang menghasilkan seratus ribu keping uang. Ia memanggil putra tertuanya dan berkata kepadanya, “Anakku, uban telah muncul padaku dan aku menjadi tua. Aku telah menikmati kebahagiaan manusia dan waktunya untuk merasakan kegembiraan surgawi, waktunya untuk pelepasan agung telah tiba. Ambillah kedaulatan ini untuk dirimu; sedangkan bagiku, aku akan mengambil tempat tinggal di tempat yang disebut kebun Mangga Makhādeva, dan di sanalah aku akan menapaki jalan pertapa. “
Ketika ia bertekad menjalani kehidupan suci, para menteri mendekat dan berkata, “Apa alasannya, Yang Mulia, mengapa Anda mengadopsi kehidupan pertapa?”
Mengambil rambut abu-abu di tangannya, sang raja mengulangi bait ini kepada para menterinya: –
Inilah, ini rambut yang abu-abu yang muncul di kepalaku
Kematian itu sendiri adalah utusan yang datang untuk merampok
hidupku.
Kali ini aku berpaling dari hal-hal duniawi,
Dan
hidup di jalan pertapa untuk mencari kedamaian.
Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, ia melepaskan kedaulatannya dan pada hari yang sama juga ia menjadi seorang pertapa. Tinggal di dalam kebun Mangga Makhādeva, dia di sana selama delapan puluh empat ribu tahun memupuk Empat Keadaan Batin Sempurna dalam dirinya, dan meninggal dengan pemahaman penuh dan utuh, kemudian terlahir kembali di Alam Brahma. Setelah itu, ia menjadi raja lagi di Mithila, dengan nama Nimi, dan setelah menyatukan keluarganya yang tersebar, sekali lagi ia menjadi seorang pertapa di dalam kebun Mangga yang sama, memenangkan Empat Keadaan Batin Sempurna dan setelah itu terlahir kembali ke Alam Brahma.
********************************************************************************************************
Setelah mengulangi pernyataan bahwa Beliau juga telah melakukan pelepasan agung pada kehidupan lampauNya, Buddha di akhir pelajarannya mengajarkan Empat Kebenaran Mulia. Beberapa bhikkhu memasuki tahap Pertama, beberapa tahap Kedua, dan beberapa tahap Ketiga. Setelah kedua cerita berakhir, Buddha menghubungkan keduanya dan mengidentifikasi Kelahiran, dengan mengatakan: – “Pada masa itu Ananda adalah tukang cukur, Rahula adalah putra raja, dan Aku sendiri adalah Raja Makhādeva.”

Gamani Jataka Kisah tentang kekuatan tekad Jataka 8

Sumber: http://www.sacred-texts.com/bud/j1/j1011.htm
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen

Picture source:
http://www.jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=128:08-gamini-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
******************************************************************************************************
Tekad hati mereka.” – Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana tentang seorang bhikkhu yang menyerah dalam perjuangannya.
Bertahan dengan nasihat dari Bodhisatta, Pangeran Gāmani meskipun bungsu dari seratus bersaudara, menemukan dirinya sendiri dikelilingi oleh saudara-saudaranya sebagai rombongan pendamping dan duduk di bawah kanopi putih kerajaan, merenungkan kemuliaan-Nya dan berpikir
“Untuk semua kemuliaan ini aku berutang kepada Guruku.”
Dan, dalam kegembiraan, ia mengucapkan dengan lantang ucapan tulus berikut ini:
Tekad hati mereka, mereka dapatkan dengan tidak tergesa-gesa;
Ketahuilah, Gāmani,
kedewasaan adalah milikmu.


Tujuh atau delapan hari setelah ia menjadi raja, semua saudara-saudaranya berangkat pulang ke rumah mereka masing-masing. Raja Gāmani, setelah memerintah kerajaannya dalam kebenaran, meninggal dunia sesuai dengan jasa kebajikannya. Demikian pula dengan Bodhisatta.
_____________________________
Pelajaran berakhir, Sang Bhagava mengajarkan Kebenaran. Menjelang akhir khotbah, para bhikkhu yang berkecil hati (kurang gigih) berhasil menyadari dan mencapai tingkat kesucian Arahat. Setelah menyampaikan kedua cerita di atas, Buddha menghubungkan keduanya bersama-sama dan mengidentifikasi kelahiran.

Katthahari Jataka "Akulah Anakmu" Jataka 7

Sumber: http://www.sacred-texts.com/bud/j1/j1010.htm
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen

Picture source:
http://www.jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=129:07-katthahari-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
*******************************************************************************************************
Akulah anakmu.”- Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana tentang kisah Vāsabha-Khattiyā, yang akan ditemukan di dalam Buku Kedua Belas dalam Bhaddasāla-Jataka. Tradisi memberitahukan kepada kita bahwa ia adalah putri dari Mahānāma Sakka dengan seorang budak wanita bernama Nāgamuṇḍā, dan bahwa ia kemudian menjadi permaisuri raja Kosala. Ia mengandung seorang anak lelaki, tetapi raja ketika mengetahui asal-usul permaisurinya yang memiliki ibu seorang budak, menurunkan tahta permaisurinya, dan juga tahta anaknya Viḍūḍabha. Ibu dan anak tidak pernah ke luar istana.
Mendengar hal ini, Buddha pada saat awal fajar datang ke istana ditemani oleh lima ratus bhikkhu, dan sambil duduk di kursi yang telah disiapkan untuknya, Beliau berkata, “Yang Mulia, di mana Vāsabha-Khattiyā?”
Kemudian raja menceritakan apa yang terjadi.
“Yang Mulia, anak siapakah Vāsabha-Khattiyā?”
“Putri Raja Mahānāma, Tuanku.”
“Ketika ia datang kemari, kepada siapakah dia menjadi istri?”
“Bagi saya, Tuanku.”
“Yang Mulia, dia adalah putri raja, pada seorang raja jugalah ia menikah dan untuk seorang raja pula ia melahirkan seorang anak laki-laki.” Oleh karena itu, apakah anak itu tidak memiliki otoritas atas wilayah seperti yang dimiliki ayahnya? Pada jaman dahulu kala, seorang raja yang memiliki seorang putra yang tidak sah tetap memberikan kedaulatan-nya pada anaknya. “
Raja kemudian bertanya pada Sang Bhagava untuk menjelaskan hal ini. Sang Bhagava membuat jelas apa yang telah tersembunyi dari dirinya oleh kelahiran kembali.
****
Pada suatu waktu Brahmadatta bertahta sebagai raja di Benares. Setelah kehilangan kesenangannya, dia pergi mengembara mencari buah-buahan dan bunga-bunga sampai pada suatu ketika ia berjumpa dengan seorang perempuan yang bernyanyi riang sambil mengambil ranting-ranting di kebun. Jatuh cinta pada pandangan pertama, raja kemudian menjadi lebih akrab dengannya, dan pada akhirnya Bodhisatta dikandung dalam rahim perempuan tersebut. Merasa tambah berat seakan-akan disambar oleh petir Indra, wanita itu mengetahui bahwa dia akan menjadi seorang ibu dan mengatakan hal itu kepada raja. Raja memberinya cincin stempel dari jarinya dan memberinya dengan kata-kata berikut ini: – “Jika yang lahir adalah seorang gadis, gunakanlah cincin ini untuk membesarkannya, tetapi jika yang lahir adalah laki-laki, bawalah cincin dan anak itu kepada saya.”
Ketika waktunya tiba, wanita tersebut melahirkan Bodhisatta. Dan ketika Bodhisatta bisa berlari dan bermain di taman bermain, suara teriakan muncul, “Tidak – ayah telah memukul saya!” Mendengar ini, Bodhisatta lari kepada ibunya dan bertanya siapa ayahnya.
“Kamu adalah putra Raja Benares, anakku.”
“Apa bukti yang ada, ibu?”
“Anakku, raja pada saat meninggalkanku memberi ibu cincin stempel ini dan berkata, ‘Jika yang lahir adalah seorang gadis, gunakanlah cincin ini untuk membesarkannya, tetapi jika yang lahir adalah laki-laki, bawalah cincin dan anak itu kepada saya’.”
“Mengapa kemudian ibu tidak membawaku bertemu dengan ayah, ibu? “
Melihat bahwa pikiran anak itu telah mantap, ia membawa anaknya menuju pintu gerbang istana, dan meminta kedatangan mereka diberitahukan kepada raja. Pada saat dipanggil masuk, ia masuk dan membungkuk memberi salam pada rajanya dan berkata, “Ini adalah anakmu, Tuanku.”
Raja cukup tahu bahwa ini adalah kebenaran, tapi malu di depan semua pejabat pengadilan menjawab, “Dia bukan anakku.”
“Tapi di sini adalah cincin stempel Anda, Tuanku; Anda akan mengenali cincin ini.”
“Ini bukan cincin stempel saya.”
Lalu kata wanita itu, “Yang Mulia, saya sekarang tidak memiliki saksi untuk membuktikan kata-kata saya, kecuali kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, jika Anda adalah ayah dari anak saya, saya berdoa agar dia dapat melayang di udara, tetapi jika tidak, maka biarlah ia jatuh ke bumi dan terbunuh.”
Setelah mengatakan hal itu, ia memegang kaki Bodhisatta dan melemparkannya ke udara.
Duduk bersila melayang di udara, Bodhisatta dengan suara merdu mengulangi bait ini kepada ayahnya, yang menyatakan kebenaran: –
Anakmu adalah aku, raja yang besar; peluklah saya, Paduka!
Seorang Raja memeluk orang lain, tetapi memeluk jauh lebih erat anaknya sendiri.

Mendengar kata-kata Bodhisatta mengajarkan kebenaran kepada raja, raja segera mengulurkan tangan dan berseru, “Datanglah padaku, Nak! Tidak ada, tidak ada yang lainnya, tapi aku akan memeluk dan membesarkanmu!”
Seribu tangan terulur untuk menangkap Bodhisatta; tetapi hanya ke tangan raja sajalah Bodhisatta turun sambil duduk di pangkuan raja. Raja mengangkatnya menjadi raja muda, dan mengangkat ibunya menjadi permaisuri. Pada saat kematian ayahnya, ia datang memenuhi tahtanya dengan gelar Raja Kaṭṭhavāhana, dan setelah memerintah kerajaannya dengan benar, meninggal dunia untuk membayar sesuai dengan jasa-jasa kebajikannya.
_____________________________
Pelajarannya kepada raja Kosala berakhir, dan dari dua kisah berbeda di atas, Sang Bhagava membuat pertalian yang menghubungkan keduanya bersama-sama dan mengidentifikasikan kelahiran dengan mengatakan: – “Mahāmāyā adalah ibu dari masa itu, Raja Suddhodana adalah ayah, dan Saya sendiri Raja Kaṭṭhavāhana. “
***************************************************************************************************
Moral yang bisa diambil dari kisah di atas antara lain:
- Yakinlah akan kebenaran, katakanlah hanya kebenaran
- Sikap bertanggungjawab adalah sikap yang harus dimiliki semua orang, terlebih oleh seorang pemimpin
- Asal usul seseorang tidak menentukan kebajikan atau kualitas dirinya

Devadhamma Jataka Pangeran Ahimsasa dan peri air (Jataka 6)

Sumber: http://www.buddhabihar.com/jataka_story_6.html
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
6 devadhamma jataka
Picture source: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=130:06-devadhamma-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
***
“Mereka hanya disebut ‘mirip dewa’.” – Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana mengenai seorang bhikkhu yang kaya raya.
Tradisi mengatakan kepada kita semua bahwa pada kematian istrinya, seorang pengawal dari Sāvatthi bergabung dengan Persaudaraan Sangha. Ketika dia bergabung, dia harus membuat sebuah gubuk tinggal untuk dirinya sendiri, sebuah ruangan untuk perapian, dan ruang penyimpanan, dan sebelum ia mengisi ruang penyimpanannya dengan ghee, beras, dan sejenisnya, dia akhirnya bergabung menjadi seorang bhikkhu. Bahkan setelah ia menjadi seorang bhikkhu, ia meminta pelayan-pelayannya memasak makanan yang dia sukai. Dia disediakan dalam segala hal, – mengganti pakaiannya untuk malam dan satu lagi untuk pagi hari, dan ia pun tinggal sendiri di pinggiran wihara.
Suatu hari ketika ia membawa keluar kain dan selimut dan setelah menjemurnya, sejumlah bhikkhu dari kerajaan lain, yang berziarah dari wihara ke wihara, datang dalam perjalanan mereka ke gubuknya dan menemukan semua barang ini.
“Milik siapakah ini?” mereka bertanya. “Milik saya, Yang Mulia,” jawabnya. “Apa, Yang Mulia?” mereka berseru; “atas kain ini dan itu juga; kain di bawah ini serta itu; dan bahwa selimut ini juga, semua adalah milikmu?” “Ya, semuanya milikku.” “Yang Mulia,” kata mereka, “Sang Bhagava hanya memiliki tiga kain dan, meskipun Sang Buddha, yang ajaranNya telah Anda mengabdikan diri, adalah sangat sederhana dalam keinginan, Anda telah mengumpulkan semua stok keperluan ini. Ayo! Kita harus membawa Anda ke hadapan Guru Yang Maha Bijaksana.” Dan, begitu mengatakan hal tersebut, mereka pergi bersamanya ke Sang Bhagava.
Menyadari kehadiran mereka, Buddha berkata, “Ada apa Saudara-saudara, sehingga Anda telah membawa Saudara ini secara paksa?” “Yang Mulia, saudara ini adalah bhikkhu kaya dan memiliki cukup persediaan keperluan.” “Apakah benar, Saudara, sebagaimana yang mereka katakan, bahwa kamu memiliki begitu banyak barang?” “Ya, Bhagava.” “Tetapi mengapa, Saudara, mengapa Anda mengumpulkan barang-barang ini? Bukankah Aku telah mengatakan kebajikan dari memiliki sedikit keinginan, memiliki rasa puas, dan sebagainya, kesendirian, dan keteguhan hati?”
Marah oleh kata-kata Guru, ia berseru, – “Lalu aku akan pergi seperti ini!” Dan, sambil melepas pakaian luar, ia berdiri di tengah-tengah mereka hanya mengenakan kain pinggangnya.
Kemudian, sebagai dukungan moral untuk dia, Sang Guru berkata, “Bukankah Engkau, Saudaraku, yang pada hari-hari dahulu adalah seorang pencari rasa malu akan ketakutan untuk berbuat dosa, dan bahkan ketika Anda terlahir sebagai setan air dan hidup selama dua belas tahun masih tetap mencari rasa malu itu? Bagaimana kemudian Anda bisa, setelah bersumpah untuk mengikuti ajaran berat Buddha, Anda melempar jubah luar dan berdiri di sini tanpa rasa malu?”
Mendengar kata-kata Sang Guru, rasa malu kembali menghampirinya, ia mengenakan jubahnya lagi, dan memberi hormat kepada Guru, kemudian duduk di sampingNya.
Para sesepuh kemudian meminta Sang Bhagava untuk menjelaskan kepada mereka hal yang telah Beliau sebutkan tadi. Sang Bhagava menjelaskan apa yang telah tersembunyi dari mereka oleh kelahiran kembali.
Pada suatu hari, ketika Brahmadatta memerintah di Benares di Kasi. Bodhisatta pada masa itu terlahir sebagai putra raja oleh pemaisuri, dan dia diberi nama Pangeran Mahiṃsāsa. Pada saat ia mulai bisa berlari, putra kedua raja lahir, dan mereka memberi nama anak ini dengan sebutan Pangeran Bulan, tetapi pada saat ia bisa berlari seperti itu, ibu Bodhisatta meninggal. Lalu raja mengangkat ratu lain, yang adalah pelipur lara dan penghibur bagi raja, dan cinta mereka dihadiahi dengan kelahiran pangeran lain, yang mereka berinama Pangeran Matahari. Dalam sukacita pada saat kelahiran anaknya itu, raja berjanji untuk mengabulkan apa pun permintaan ratu barunya kepadanya atas nama anak yang baru lahir tersebut. Tetapi ratu meminta agar janji itu ditunda dan dipenuhi pada waktu yang tepat. Kemudian, ketika anaknya telah tumbuh dewasa, ia berkata kepada raja, “Yang Mulia, ketika anak saya lahir, engkau memberiku berkah untuk meminta apapun kepadamu. Biarkanlah anakku menjadi raja.”
“Tidak,” kata raja; “dua anak laki-lakiku, berseri-seri seperti panah-panah api; Aku tidak dapat memberikan kerajaan kepada anakmu.” Tetapi ketika ia melihat bahwa, tidak gentar dengan penolakan ini, sang ratu terus mengusiknya dari waktu ke waktu, untuk mengabulkan permintaannya. Raja, takut kalau-kalau wanita tersevut melakukan persengkokolan jahat terhadap anak-anaknya, mengutus mereka dan berkata, “Anak-anakku, ketika Pangeran Matahari lahir, aku memberinya anugerah, dan sekarang ibunya menginginkan kerajaan ini untuk putranya. Aku tidak ingin memberinya kerajaan, tetapi wanita secara alami jahat, dan ia akan berencana jahat terhadap kalian. Kalian lebih baik pergi sementara ke hutan, dan kembali lagi pada saat kematian saya untuk memerintah kerajaan ini yang memang adalah hak kalian.” Mengatakan itu, dengan air mata dan ratapan, raja mencium kedua putranya di kepala dan mengutus mereka pergi.
Ketika kedua pangeran itu pergi meninggalkan istana setelah berpamitan pada ayahnya, seseorang melihat mereka dan orang itu tak lain adalah Pangeran Matahari sendiri, yang sedang bermain di halaman. Dan tak lama kemudian dia menyadari apa yang terjadi dan dia pun memutuskan untuk pergi dengan saudara-saudaranya. Jadi ia juga pergi bersama kedua saudaranya.
Ketiga pangeran itu tiba di wilayah Himalaya; dan di sini Bodhisatta, yang telah berpaling dari jalan dan sedang duduk di kaki pohon, berkata kepada Pangeran Matahari, “Larilah ke kolam sana, Matahari sayang; minum dan mandilah di sana, dan kemudian bawakanlah kami sedikit air di daun teratai.” (Sekarang kolam itu telah diserahkan kepada setan air oleh Vessavaṇa, yang berkata kepadanya, “Dengan pengecualian siapapun yang tahu jawaban apa yang benar-benar ‘seperti dewa’, semua yang turun ke dalam kolam ini adalah milikmu untuk dilahap. Sedangkan orang-orang yang tidak masuk air, maka kamu tidak memiliki kekuasaan untuk melahap mereka.” Dan sejak itu setan air bertanya kepada semua orang yang turun ke dalam kolam apa yang benar-benar seperti dewa, dan melahap semua orang yang tidak tahu jawabannya.)
Sekarang Pangeran Matahari telah turun ke dalam kolam, cukup ceroboh sehingga ia ditangkap oleh setan air, yang bertanya kepadanya, “Apakah Anda tahu apa yang benar-benar seperti dewa?” “O ya,” katanya; “matahari dan bulan.” “Kau tidak tahu,” kata si setan air dan ia pun menyeret sang pangeran ke dasar kolam, dipenjarakan di sana di kediamannya sendiri. Menemukan bahwa adiknya sudah lama pergi dan belum kembali, Bodhisatta mengutus Pangeran Bulan. Namun ia juga ditahan oleh setan air dan bertanya apakah dia tahu apa yang benar-benar serupa dewa. “Oh ya, aku tahu,” katanya; “Empat Kuartal Surga.” “Kau tidak tahu,” kata si setan air ketika ia menangkap korban kedua ini ke penjara yang sama.
Menemukan bahwa saudara keduanya juga pergi terlalu lama, Bodhisatta merasa yakin bahwa sesuatu telah terjadi pada mereka. Jadi ia pergi dan melacak jejak mereka turun ke dalam air. Segera menyadari bahwa kolam itu adalah wilayah kekuasaan setan air, ia menyandangkan pedangnya dan mengambil busur di tangannya, dan menunggu. Sekarang ketika iblis itu menyadari bahwa Bodhisatta tidak berniat memasuki air, ia menjelma menjadi seorang penghuni hutan, dan dalam penyamaran ini dia bertanya pada Bodhisatta demikian: “Kamu lelah dengan perjalanan Anda, mengapa kamu tidak pergi ke dalam kolam, mandi dan minum, dan membaringkan diri Anda sejenak di atas teratai-teratai? Anda akan bepergian dengan nyaman sesudahnya.” Menyadari pada saat itu juga bahwa dia adalah setan, Bodhisatta berkata, “Jadi kamulah yang telah menyita saudara-saudaraku.” “Ya, benar,” jawabnya. “Mengapa?” Karena semua orang yang turun ke kolam ini milik saya.” “Apa, semua orang?” “Tidak, hanya orang-orang yang tahu jawaban apa yang benar-benar serupa dewa adalah yang selamat, sedangkan yang tidak mengetahui jawabannya adalah milikku.” “Dan apakah Anda ingin tahu apa yang seperti dewa itu?” “Iya.” “Jika begitu, aku akan memberi tahu Anda apa yang benar-benar seperti dewa.” “Jawablah, dan aku akan mendengarkan.”
“Saya ingin menjawabnya,” kata Bodhisatta, “tetapi aku ternoda selama perjalanan-perjalanan saya.” Kemudian setan air itu memandikan Bodhisatta, dan memberinya makanan untuk dimakan dan air untuk diminum, menghiasnya dengan bunga-bunga, menaburinya dengan aroma wewangian, dan meletakkan alas teratai untuknya. Duduk sendiri di alas ini, dan membuat setan air duduk di kakinya, si Bodhisatta berkata, “Dengar ini dan Anda akan mendengar jawaban apa yang benar-benar seperti dewa.” Dan ia mengucapkan bait ini: –
Mereka yang disebut ‘serupa dewa’ adalah mereka yang mengurangi dosa,
Pertapa berjiwa putih yang tenang dan penuh nilai kebajikan.
Dan ketika setan mendengar ini, ia merasa senang, dan berkata kepada Bodhisatta, “Manusia bijaksana, saya senang dengan Anda, dan saya akan mengembalikan Anda satu dari dua saudara Anda. Mana yang akan saya bawakan?” “Yang termuda.” “Manusia bijaksana, meskipun Anda tahu dengan baik apa yang benar-benar seperti dewa, Anda tidak bertindak berdasarkan pengetahuan Anda.” “Kenapa begitu?” “Mengapa Anda memilih yang lebih muda dan tidak yang lebih tua, tanpa memperhatikan senioritas-nya.” “Wahai setan, saya tidak hanya tahu, tapi juga mempraktekkan pengetahuan saya. Oleh karena anak itulah kami mencari perlindungan di hutan; demi dirinyalah maka ibunya meminta kerajaan pada ayah kami, dan ayah kami, menolak untuk memenuhi permintaan ibunya, setuju untuk mengutus kami mencari perlindungan di dalam hutan. Bersama kami anak ini datang, dan dia juga tidak pernah berpikir untuk kembali lagi. Tidak seorang pun akan percaya padaku jika aku harus memberi tahu bahwa dia telah dimakan oleh setan di hutan, dan ketakutan dari aib itulah yang mendorong saya untuk memilih dia.”
“Bagus! Bagus! Hai manusia bijaksana,” teriak setan menyetujuinya; “Anda tidak hanya tahu, tapi mempraktekkan pengetahuan bijaksana Anda.” Dan sebagai tanda kegembiraannya, ia pun mengembalikan kedua saudara kepada Bodhisatta.
Lalu kata terakhirnya pada setan air, “Teman, ini sebagai konsekuensi dari perbuatan jahat Anda sendiri di masa lalu sehingga sekarang anda terlahir sebagai setan yang hidup dari daging dan darah makhluk hidup lain, dan dalam kelahiran sekarang ini juga Anda terus melakukan kejahatan. Perilaku jahat ini akan selama-lamanya menyebabkan Anda terlahir di alam neraka dan alam-alam jahat lainnya. Oleh karena itu, mulai saat ini tinggalkanlah perbuatan jahat dan hiduplah dengan kebaikan. “
Setelah membuat setan tersebut sadar, Bodhisatta dan saudara-saudaranya tetap tinggal di tempat itu di bawah perlindungan setan itu, sampai pada suatu hari ia membaca bintang-bintang dan mengetahui bahwa ayahnya telah meninggal. Kemudian dengan turut membawa setan air itu, ia kembali ke Benares dan menguasai kerajaan, mengangkat Pangeran Bulan sebagai raja muda dan Pangeran Matahari sebagai jenderal. Untuk setan air ia membuatkan sebuah rumah di tempat yang nyaman dan memastikan kediaman setan air tersedia karangan bunga terpilih, wewangian, dan makanan. Dia sendiri memerintah dalam kebenaran sampai dia meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan jasa-jasa perbuatan baiknya.
Pelajarannya berakhir, Sang Buddha mengajarkan Kebenaran, pada akhir khotbahNya bhikkhu tersebut memenangkan Buah Pemasuk Arus Pertama. Dan Yang Maha mengetahui Buddha, setelah menceritakan kisah tersebut menghubungkan keduanya, dan mengidentifikasi Kelahiran, dengan mengatakan, “Bhikkhu yang telah memasuki arus pemenang adalah setan air; Ananda adalah Pangeran Matahari , Sariputta adalah Pangeran Bulan, dan aku sendiri adalah anak laki-laki tertua, Pangeran Mahiṃsāsa.”

Tandulanali Jataka Sipenilai bodoh (Jataka5)

Sumber: http://www.buddhabihar.com/jataka_story_5.html
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
tandulanali jataka
Picture source: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=131:05-tandulanali-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
“Jangan bertanya berapa nilai setakaran beras?” – Kisah ini diceritakan oleh Buddha ketika berdiam di Jetavana. Kisah ini bercerita tentang Sesepuh Udāyi, yang disebut orang bodoh.
Pada saat itu Yang Mulia Dabba, Mallian, adalah orang yang bertanggungjawab mengurus keperluan bhikkhu. Ketika pagi hari tiba adalah tugas Dabba untuk memeriksa persediaan dan pembagian beras. Kadang-kadang pilihan beras yang berkualitas rendah jatuh ke bagian Sesepuh Udāyi. Pada suatu hari ketika ia menerima beras berkualitas rendah, ia membuat keributan di ruang pemeriksaan dan bertanya, “Apakah Dabba adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana cara membedakan kualitas beras? Bukankah kita semua juga bisa tahu caranya?” Suatu hari ketika ia membuat keributan, mereka menyerahkan keranjang pembagian beras kepada Udāyi, mengatakan, “Ini! Anda yang akan memilih sendiri jatah beras Anda hari ini!” Kemudian setelah itu, Sesepuh Udāyi-lah yang melakukan pembagian beras kepada para bhikkhu. Namun, dalam distribusi, dia tidak tahu bagaimana cara membedakan kualitas beras yang rendah dan mana beras dengan kualitas tinggi, pun dia tidak mengetahui senioritas yang berhak mendapatkan beras terbaik dan mana yang harus menerima beras berkualitas lebih rendah. Demikian pula ketika ia membuat daftar nama-nama bhikkhu senior, ia tidak mempunyai gagasan tentang senioritas di atasnya. Karenanya, ketika para sesepuh senior lain mengambil tempat makan mereka, ia membuat tanda pada tanah atau di dinding untuk menunjukkan bahwa satu kumpulan senior berdiri di sini, dan satu lagi di sana. Hari berikutnya lebih sedikit sesepuh senior ada dalam satu kumpulan yang sama di ruang itu dan lebih banyak lagi di ruang periksa; di mana terdapat lebih sedikit tanda sedangkan jumlah sesepuh senior lebih banyak. Tetapi Udāyi, masa bodoh dengan kumpulan itu dan tetap memberikan jatah beras hanya sesuai dengan tanda buatannya yang sudah tidak falid lagi.
Oleh karena itu, sesepuh senior berkata kepadanya, “Sahabat Udāyi, tanda itu terlalu banyak atau terlalu sedikit; beras yang terbaik adalah bagi mereka yang seperti itu, dan beras dengan kualitas lebih rendah adalah untuk yang seperti itu.” Tapi ia menjawab kembali dengan argumen, “Jika tanda ini adalah untuk yang itu, untuk apa engkau berdiri di sini? Mengapa saya harus percaya pada anda? Tanda buatankulah yang aku percayai.”
Kemudian, bhikkhu-bhikkhu muda dan para samanera yang mempercayakan pembagian jatah beras pada sesepuh Udayi menangis di ruang pemeriksaan, “Sesepuh Udāyi adalah orang bodoh, saat Anda yang melakukan pembagian, sesepuh senior tidak mendapat apa yang seharusnya mereka dapat; Anda tidak cocok untuk mengatur pembagian jatah ini; silakan Anda pergi dari sini. ” Sesudah itu, muncul kehebohan besar di kamar periksa.
Mendengar keributan, Sang Guru bertanya kepada Sesepuh Ananda, mengatakan, “Ananda, ada kehebohan besar di kamar periksa. Apa yang terjadi?”
Para sesepuh menjelaskan semuanya kepada Sang Buddha. “Ananda,” katanya, “ini bukan satu-satunya saat ketika Udāyi oleh kebodohannya telah merampas keberuntungan orang lain, ia melakukan hal yang sama di masa lampau juga.”
Para sesepuh bertanya pada Sang Bhagava untuk penjelasan lebih lanjut, dan Sang Bhagava membuat jelas apa yang telah disembunyikan oleh kelahiran kembali.
Suatu ketika, pada waktu itu Brahmadatta sedang memerintah di Benares di Kasi. Pada masa itu, Bodhisatta adalah seorang penilai. Ia digunakan jasanya untuk menilai harga kuda, gajah, dan sejenisnya, dan demikian pula permata, emas, dan sejenisnya; dan ia juga digunakan jasanya untuk membayar ke pemilik barang dengan harga yang tepat.
Tetapi raja itu serakah dan keserakahan mengusulkan kepadanya pemikiran sebagai berikut: “Penilai ini dengan penilaiannya yang menghargai sesuatu sesuai dengan harganya akan segera menguras semua kekayaan di istanaku, saya harus mendapatkan penilai yang lain.” Membuka jendela dan memandang keluar ke halaman, terlintas seorang bodoh dan seketika itu keserakahan raja membuatnya menginginkan si orang bodoh itu untuk menjadi pengganti si penilai. Jadi, raja memanggil orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia dapat melakukan pekerjaan itu. “Oh ya,” kata pria tersebut, dan dengan demikian, untuk menjaga harta kerajaannya, orang bodoh ini ditunjuk sebagai penilai. Setelah ini orang bodoh tersebut, dalam menilai gajah dan kuda-kuda dan sejenisnya, menggunakan harga yang ditetapkannya sendiri, mengabaikan nilai sejati mereka, tetapi, karena dia adalah penilai, maka harga yang berlaku adalah harga yang diucapkannya dan tidak yang lain.
Pada waktu itu datang dari negeri utara seorang penjual kuda dengan 500 ekor kuda. Raja memanggil penilai barunya dan memintanya untuk menilai kuda-kuda tersebut. Dan harga yang ditetapkan secara keseluruhan untuk 500 ekor kuda hanyalah satu takaran beras, yang diperintahkan untuk dibayar ke para penjual kuda, mengarahkan kuda-kuda yang akan dibawa pergi ke kandang. Dengan kecewa si penjual kuda pergi ke tempat mantan penilai, kepada siapa ia menceritakan apa yang telah terjadi, dan bertanya apa yang harus dilakukan. “Beri dia suap,” kata mantan penilai, “dan tegaskan hal ini padanya: ‘Mengetahui saat kami melakukan penawaran kuda-kuda kami dengan hanya bernilai satu ukuran takar beras, kami ingin belajar dari Anda apa nilai yang tepat untuk satu takaran beras; bisakah Anda menyatakan nilai itu di hadapan raja?’. Kalau dia bilang bisa, kemudian bawalah dia menghadap raja, dan aku juga akan berada di sana.”
Siap mengikuti nasihat Bodhisatta, si penjual kuda menyuap pria tersebut dan mengajukan pertanyaan itu kepadanya. Si penilai yakin memiliki kemampuan untuk mengungkapkan nilai ukuran beras, langsung dibawa ke istana, di mana Bodhisatta dan banyak menteri lainnya juga pergi ke sana. Dengan hormat si pedagang kuda berkata, “Yang Mulia, aku tidak membantah bahwa harga dari 500 kuda adalah ukuran setakaran beras, tetapi aku akan meminta Mulia untuk bertanya kepada penilai Anda mengenai nilai dari setakaran beras.” Tanpa belajar dari apa yang telah terjadi sebelumnya, raja berkata kepada penilainya, “Penilai, apa yang senilai dengan nilai 500 ekor kuda?” “Sebuah ukuran beras, Tuanku,” jawabnya. “Sangat bagus, temanku, jika 500 kuda bernilai satu ukuran beras, maka apakah itu nilai setakaran beras?” “Senilai dengan seluruh Benares dan sekitarnya,” jawab si bodoh.
(Dengan demikian kita belajar bahwa setelah pertama-tama menilai harga kuda-kuda dengan ukuran setakaran beras untuk menyenangkan hati raja, ia disuap oleh penjual kuda untuk memperkirakan bahwa ukuran beras itu senilai dengan seluruh wilayah Benares dan sekitarnya. Dan bahwa meskipun wilayah kota Benares seluas radius dua belas mil, tetapi kota dan pinggiran kota semuanya seluas radius tiga ratus mil! Dan tetap saja si penilai bodoh menilai semua wilayah kota besar ini dan sekitarnya seukuran tunggal beras!)
Setelah itu para menteri bertepuk tangan dan tertawa riang. “Kami biasa berpikir,” kata mereka mengejek, “bahwa bumi dan alam berada di luar harga, tetapi sekarang kita belajar bahwa Kerajaan Benares bersama-sama dengan rajanya hanya bernilai satu takaran beras! Bakat apa yang dimiliki penilai! Bagaimana ia bisa mempertahankan jabatannya begitu lama? Tetapi ia benar-benar cocok dengan raja kami yang mengagumkan. “
Kemudian Bodhisatta mengulangi bait 4:
Jangan bertanya berapa nilai setakaran beras?
- Mengapa, semua Benares, baik di dalam dan keluarnya.
Akan tetapi, walaupun aneh untuk dikatakan, lima ratus ekor kuda juga
Senilai dengan harga setakaran beras!
Dengan demikian, sambil meletakkan malu, raja mengirim pulang si orang bodoh, dan mengangkat kembali Bodhisatta. Dan ketika hidupnya berakhir, Bodhisatta meninggal dunia sesuai dengan jasa-jasa perbuatannya.
Pelajarannya berakhir dan kedua kisah yang diceritakan, Sang Buddha menghubungkannya, dan mengidentifikasi dalam kesimpulan, – “Udāyi adalah si penilai bodoh, dan aku sendiri adalah penilai yang bijak.”