Mau dapat uang silakan klik link ini

Jumat, 01 Oktober 2010

PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA

PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA



Secara mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana dipercaya sebagai tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kangjeng Ratu Kidul, oleh karena itu letak Panggugu Sangga Buwana tersebut persis segaris lurus dengan jalan keluar kota Solo yang menuju ke Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan, hal itu memang disengaja sebab datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan.

Pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang dikendarai oleh manusia sambil memanah. Menurut Babad Surakarta, hal itu bukan sekedar hiasan semata tetapi juga dimaksudkan sebagai sengkalan milir. Bila diterjemahkan dalam kata-kata sengkalan milir itu berbunyi Naga Muluk Tinitihan Janma, yang berarti tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi yang merupakan tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana (Naga=8, Muluk=0, Tinitihan=7, dan Janma=1)

Arti lain dari sengkalan milir tersebut adalah: 8 diartikan dengan bentuknya yang segi delapan, 0 yang diartikan dengan tutup bagian atas bangunan yang berbentuk seperti topi, 7 adalah manusia yang mengendarai naga sambil memanah dan 1 diartikan sebagai tiang atau bentuk bangunannya yang seperti tiang.

Namun demikian, sebenarnya nama Panggung Sangga Buwana itu sendiri juga merupakan sebuah sengkalan milir yang merupakan kependekan dari kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Dari nama tersebut lahir dua sengkalan sekaligus yang bila diterjemahkan akan didapati dua jenis tahun yaitu tahun Jawa dan tahun Hijryah. Untuk sengkalan tahun Hijryah, Panggung berarti gabungan dua kata, PA dan AGUNG. Pa adalah huruf Jawa dan Agung adalah besar berarti huruf Jawa Pa besar yaitu angka delapan. Sedangkan Sangga adalah gabungan kata SANG da GA yang merupakan singkatan dari Sang atau sembilan dan Ga adalah huruf Jawa atau angka Jawa yang nilainya satu. Serta kata Buwana yang artinya dunia, yang bermakna angka satu pula. Dengan demikian menunjukkan angka tahun 1198 Hijryah.

Kemudian untuk sengkalan tahun Jawa kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Panggung juga tediri dari PA dan AGUNG yang berarti huruf Jawa Pa besar sama dengan 8. Luhur mempunyai makna tanpa batas yang berarti angka 0. Sinangga bermakna angka 7 dan Buwana bermakna angka 1. Shingga bila digabungkan mempunyai arti yang sama yaitu tahun 1708 Jawa. Kedua tahun tersebut, baik tahun Jawa dan Hijryah bila dimaksukkan atau dikonversikan ke tahun Masehi sama-sama menunjukkan angka 1782, saat pembangunan panggung tersebut.

Pada Panggung Sangga Buwana masih didapati sebuah sengkalan milir yang pada jaman penjajahan Belanda dirahasiakan adanya. Sebab diketahui sengkalan terakhir ini berupa sebuah ramalan tentang tahun kemerdekaan Indonesia, sehingga jelas akan menimbulkan bahaya apabila diketahui oleh Belanda. Selain itu yang namanya ramalan memang tidak boleh secara gegabah diumumkan, mengingat ketakaburan manusia yang dapat ditaksirkan akan mendahului takdir Tuhan.

Sengkalan rahasia yang dimaksud adalah terletak pada puncak atas panggung yang telah disinggung yaitu Naga Muluk Tinitihan Janma. Bentuk dari hiasan tersebut adalah manusia yang naik ular naga tengah beraksi hendak melepaskan anak panah dari busurnya, sedangkan naganya sendiri digambarkan memakai mahkota. Hal ini merupakan Sabda terselubung dari Sunan PB III yang kemudian ketika disuruh mengartikan kepada seorang punjangga karaton Surakarta yang bernama Kyai Yosodipuro, juga cocok yaitu ramalan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tahun 1945.

Naga atau ular diartikan melambangkan rakyat jelata dan mahkotanya berarti kekuasaan. Dengan demikian keseluruhan sosok naga tersebut menggambarkan adanya kekuasaan ditangan rakyat jelata. Dan gambaran manusia yang mengendarainya dengan siap melepaskan anak panah diartikan sebagai sasaran, kapan tepatnya kekuasaan berada ditangan rakyat.

Sebenarnya sosok manusia mengendarai naga tersebut dipasang juga untuk mengetahui arah mata angin dan tiang yang berada dipuncaknya dan digunakan untuk penangkal petir. Hal tersebut oleh Kyai Yosodipuro dibaca sebagai sengkalan juga yaitu keblat Rinaras Tri Buwana. Keblat = 4, Rinaras = 6, Tri = 3 dan Buwana = 1 atau tahun 1364 Hijryah, bila dimasukan atau dikonversikan ke tahun Masehi akan menjadi 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Sayangnya bangunan Sangga Buwana beserta hiasan asli dipuncaknya itu pernah terbakar dilalap api tahun 1954, tetapi hingga sekarang kepercayaan masyarakat dan legenda akan bangunan tersebut tidak pernah punah sehingga mereka tetap menghormati dan menghargainya dengan cara selalu melakukan upacara sesaji atau yang lazim disebut caos dahar pada setiap hari Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, setiap malam Jumat dan saat menjelang upacara-upacara kebesaran karaton.

Bangunan Panggung Sangga Buwana apabila dilihat sebagai sumbu dari bangunan karaton secara keseluruhan yang menghadap ke arah utara, maka semua Bangunan yang berada di sebelah kiri Panggung Sangga Buwana mempunyai hubungan vertikal dan yang sebelah kanan mempunyai hubungan horisontal. Hubungan vertikal tersebut yaitu hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kegiatan spiritual misalnya : bangunan Jonggring Selaka, Sanggar Palanggatan, Sanggar Segan, Mesjid Bandengan, Mesjid Pudyasana, Mesjid Suranatan, Mesjid Agung, Gereja Protestan Gladag dan Gereja Katolik Purbayan. Sedangkan hubungan horizontal yaitu kegiatan duniawi manusia misalnya Pasar Gading, Pasar Kliwon, Pasar Gedhe, dan sebelah timur lagi terdapat sarana transportasi Begawan Solo.

Panggung Sangga Buwana juga mempunyai arti sebagai penyangga bumi memiliki ketinggian kira-kira 30 meter sampai puncak teratas. Didalam lingkungan masyarakat Solo terdapat sebuah kepercayaan bahwa bangunan-bangunan yang berdiri di kota Solo tidak boleh melebihi dari Panggung Sangga Buwana karena mereka sangat menghormati rajanya dan mempercayai akan kegiatan yang terjadi di puncak bangunan tersebut sehingga apabila ada bangunan yang melanggarnya maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.



BENTUK PANGGUNG SANGGA BUWANA

Bentuk fisik dari Panggung Sangga Buwana adalah segi delapan atau hasta walu dalam istilah Jawa. Bentuk yang segi delapan itu diartikan sebagai hasta brata yang menurut filosifi orang Jawa adalah sifat kepepimpinan, jadi diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat yang demikian. Filsafat Jawa selalu berorientasi pada alam karana dengan alam mereka dapat menikmati hidup dan merasakan komunikasi batin manusia dengan Sang Pencipta. Orang Jawa juga mempercayai bahwa apabila bangunan yang tidak menghiraukan alam lingkungan maka bangunan tersebut akan jauh dari situasi manusiawi.



Ajaran hasta brata atau delapan laku yang merupakan ajaran kepemimpinan bagi setiap manusia. Dari ajaran tersebut diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat-sifat seperti watak kedelapan unsur alam yaitu:

1. Matahari yang diartikan sebagai seorang pemimpin harus dapat menjadi sumber hidup orang lain.
2. Bulan mengartikan penerangan dalam kegelapan.
3. Bintang sebagai petunjuk arah bagi yang tersesat
4. Bumi yang maksudnya seorang pemimpin yang baik harus kuat menerima beban hidup yang diterimanya.
5. Mendhung diharapkan sebagai pemimpin tidak mempunyai sifat yang tidak pilih kasih.
6. Api yang berarti mematangkan yang mentah
7. Samodra/Air dimaksudkan bahwa pemimpin harus dapat memahami segala kebaikan dan keburukan
8. Angin yang apabila berada dimanapun juga harus dapat membawa kesejukkan.

Seorang pemimpin yang dihormati oleh rakyatnya karena rakyat mengharapkan dengan hadirnya pemimpin yang mempunyai sifat demikian maka mereka pasti akan hidup rukun, tentram dan damai sejahtera.



Dari bentuk fisik bangunan Panggung Sangga Buwana juga melambangkan sebagai simbol lingga yang yang berdampingan dengan yoni yaitu Kori Srimanganti. Dalam kepercayaan agama hindu, lingga dan yoni melambangkan Dewa Shiwa atau Dewa Kesuburan. Simbol lingga dan yoni juga terukir atau terekam dalam bentuk ornamen di Kori Srimanganti yang berarti bahwa sebagai perantara kelahiran manusia yang juga mengingatkan hidup dalam alam paberayan senantiasa bersikap keatas dan kebawah serta ke kanan dan ke kiri. Hal ini semua mengandung arti bahwa manusia harus selalu ingat adanya Yang Menitahkan dan sekaligus mengakui bahwa manusia hanya sebagai yang dititahkan. Sedangkan ke kanan dan ke kiri dapat diartikan manusia selalu hidup bermasyarakat.


Panggung Sangga Buwana yang melambangkan lingga diartikan juga sebagai suatu kekuatan yang dominan disamping menimbulkan lingga-yoni yang juga merupakan lapisan inti atau utama dari urut-urutan bangunan Gapura Gladag di Utara hingga Gapura Gading di Selatan. Lingga dan yoni merupakan kesucian terakhir dalam hidup manusia, hal ini kemudian menimbulkan sangkang paraning dumadi yaitu dengan lingga dan yoni terjadilah manusia. Jadi dengan kata lain kesucian dalam hubungannya dengan filsafat bentuk secara simbolik dapat melambangkan hidup.

Panggung yang dilambangkan sebagai lingga dan Srimanganti sebagai yoni, juga merupakan suatu pasemon atau kiasan goda yang terbesar. Maksudnya, lingga adalah penggoda yoni, dan sebaliknya yoni merupakan penggoda lingga. Seterusnya, panggung dan kori itu juga merupakan lambang yang bisa diartikan demikian: seorang lelaki dalam menghadapi sakaratul maut, yaitu ketika ia hampir berangkat menuju ke hadirat Tuhan, ia akan sangat tergoda oleh wanita atau sebaliknya. Begitu pula sebaliknya wanita, ketika dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ia pun sangat tergoda atau sangat teringat akan pria atau kekasihnya. Begitulah makna yang terkandung atau perlambang yang terkandung di dalam Panggug Sangga Buwana bersama Kori Srimanganti yang selalu berdekatan.



FUNGSI PANGGUNG SANGGA BUWANA

Versi lain mengatakan bahwa Panggung Sangga Buwana ditilik dari segi historisnya, pendirian bangunan tersebut disengaja untuk mengintai kegiatan di Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada disebelah timur laut karaton. Memang tampaknya, walaupun karaton Surakarta tuduk pada pemerintahan Belanda, keduanya tetap saling mengintai. Ibarat minyak dan air yang selalu terpisah jelas kendati dalam satu wadah. Belanda mendirikan Benteng Vastenburg untuk mengamati kegiatan karaton, sedangkan PB III yang juga tidak percaya pada Belanda, balas mendirikan Panggung Sangga Buwana untuk mengintai kegiatan beteng.

Namun tak-tik PB III sempat diketahui oleh Belanda. Setidaknya Belanda curiga terhadap panggung yang didirikan itu. Dan ketika di tegur, PB III berdalih bahwa panggung tersebut didirikan untuk upacara dengan Kangjeng Ratu Kidul semata tanpa tendensi politik sedikitpun.

Lantai teratas merupakan inti dari bangunan ini, yang biasa disebut tutup saji. Fungsi atau kegunaan dari ruang ini bila dilihat secara strategis dan filosofis atau spiritual adalah:

1. Secara strategis, dapat digunakan untuk melihat Solo dan sekitarnya. Untuk dapat melihat kota Solo dari lantai atas panggung dan tidak sembarangan orang yang dapat menaiki, ada petugas yang memang bertugas untuk melihat dengan menggunakan teropong atau kadang-kadang raja Surakarta sendiri yang melakukan pengintaian. Pada jaman dulu raja sering naik keatas untuk melihat bagaimana keadaan kota, rakyat dan musuh.
2. Segi filosofi dan spiritualnya, Panggung Sanggga Buwana merupakan salah satu tempat yang mempunyai hubungan antara Kengjeng Ratu Kencono Sari dengan raja Jawa setempat. Hal yang memperkuat keyakinan bahwa raja-raja Jawa mempunyai hubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul atau Kangjeng Ratu Kencono Sari yang dipercaya sebagai penguasa laut dalam hal ini di Laut Selatan dan raja sebagai penguasa daratan, jadi komunikasi didalam tingkatan spiritual antara raja sebagai penguasa didaratan dan Kangjeng Ratu Kencono Sari sebagai penguasa lautan dikaitkan dengan letak geografis Nusantara sebagai negara maritim.



Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang tutup saji ini digunakan sebagai:

1. tempat meditasi bagi raja, karena letaknya yang tinggi dan ruang ini memberikan suasana hening dan tentram
2. tempat meraga sukma bagi raja, untuk mengadakan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul.
3. Tempat untuk mengawasi keadaan atau pemandangan sekeliling karaton.



Pada lantai teratas digunakan untuk bersemedi raja dan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul terdapt dua kursi yang diperuntukkan bagi raja (kursi sebelah kiri) dan Ratu Kidul (kursi sebelah kanan) yang menghadap ke arah selatan. Arah orientasi dari bangunan ini adalah ke selatan; pintu masuk dari arah selatan dengan tujuan untuk menghormati Kangjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Diantara dua buah kursi terdapat sebuah meja yang digunakan untuk meletakkan panggageman Kangjeng Ratu Kidul didalam sebuah kotak. Pangageman tersebut diganti setiap tahun menjelang acara Jumenengan raja.




*disarikan dari berbagai media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar