Mau dapat uang silakan klik link ini

Selasa, 28 September 2010

Santhava Jataka

Santhava Jataka



Kisah ini diceritakan oleh sang Guru saat bertempat tinggal di Jetavana, tentang pemujaan api suci. Masalahnya sama seperti kelahiran Nanguttha. Para Bhikkhu, setelah mengamati kaum pemuja api, berkata kepada Yang Terberkahi, "Yang Mulia, ada petapa berambut jambul yang mempraktikkan segala macam pertapaan sesat. Apakah kebaikannya?" "Tak ada kebaikannya," Kata Sang Guru.

"Sebelumnya, para orang bijak pun berpendapat ada beberapa kebaikan dalam pemujaan api suci, tapi setelah melaksanakannya sekian lama, menyadari bahwa tiada kebaikannya, dan telah memadamkannya dengan air, dan memberes-bereskannya dengan kayu, tak pernah memandangnya begitu perlu sejak itu." Lalu Beliau menceritakan mereka kisahnya.

Dahulu kala, saat Brahmadatta menjadi raja di Benares, Sang Bodhisattva terlahir di keluarga brahmana. Ketika dia berusia sekitar enam belas tahun, ayah dan bundanya mengambil api kelahirannya dan berujar kepadanya demikian: "Putraku, maukah kau membawa api kelahiranmu ke dalam hutan, menyembah api itu di sana; atau maukah kau mendalami Tiga Veda, menetap sebagai pria yang menikah, dan hidup dalam keduniawian?" Kata dia, "Tiada kehidupan duniawi untukku: Saya akan memuja apiku di hutan, dan mencapai jalan ke surga." Sambil membawa api kelahirannya, dia berpamitan kepada orang tuanya, dan masuk hutan, tempat dia tinggal di gubuk yang terbuat dari dahan- dahan dan dedaunan dan hidup dan memuja api itu.

Suatu hari, dia diundang ke suatu tempat di mana dia memperoleh persembahan nasi dan susu ghee. "Nasi ini," pikirnya, "Akan aku persembahkan kepada Brahma Agung." Maka dia membawa pulang nasi itu, dan menyalakan api. Lalu dengan ucapan, "Dengan nasi ini aku haturkan kepada nyala suci," dia memanggangnya di atas api. Perlahan-lahan nasi itu jatuh di atas api, yang semuanya penuh lemak saat nyala yang liar melunjak membakar pertapaannya. Lalu brahmana itu bergegas dengan cemas, dan duduk di kejauhan. "Tak ada perlunya meladeni yang jahat," katanya, "Dan begitulah api ini telah membakar gubuk yang kubuat dengan susah payah!" Dan dia mengulangi bait pertama:

"Tiada yang lebih buruk daripada ditemani kejahatan;

Aku persembahkan apiku dengan banyak nasi dan susu;

Dan lihatlah! gubuk yang dengan susah kubangun,

Apiku telah memusnahkannya."

"Aku telah selesai denganmu kini, kawan palsu!" Dia tambahkan; dan dia menuang air di atas api, dan mematikannya dengan kayu-kayu, dan mengucilkan dirinya di pegunungan. Di sana dia menjumpai kelokan gelap pada tampang singa, harimau, dan macan. Ini membuatnya berpikir betapa tiada yang lebih baik daripada teman-teman baik; dan diulanginya bait kedua:

"Tiada yang lebih baik daripada mengawani yang baik;

Macam persahabatan kental yang kusaksikan di sini;

Lihatlah singa, harimau dan macan--

Kelokan hitam meliputi tampang ketiga-tiganya."

Dengan renungan ini Sang Bodhisattva mendekam di ketinggian pegunungan, dan di sana dia mengenyam kehidupan religius sejati, mengolah Pembebasan dan Pencapaian, sampai akhir hidupnya dan melampaui alam Brahma. Setelah mengungkapkan bahasan ini, sang Guru mengenalkan Kelahiran: "Pada masa itu akulah pertapa dalam kisah itu."

Makhadeva Jataka Jataka 9

Sumber: http://www.sacred-texts.com/bud/j1/j1012.htm
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen

Picture source:
http://www.jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=127:09-makhadeva-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
********************************************************************************************************
Inilah rambut uban itu!” – Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana mengenai Pelepasan Agung, yang juga terkait dalam Nidāna-katha.
Pada kesempatan ini, para bhikkhu duduk memuji kisah Pelepasan Agung Buddha. Sang Bhagava kemudian berjalan memasuki Ruang Kebenaran dan duduk di tempat yang telah disediakan, Buddha Gotama kemudian bertanya pada para bhikkhu: – “Apa tema, o para bhikkhu, yang kalian perbincangkan dalam pertemuan ini?”
“Itu tidak lain, Yang Mulia, adalah tentang kisah Pelepasan Agung Anda sendiri.”
“Saudara-saudara,” jawab sang Guru, “tidak hanya dalam kehidupan ini saja Tathagata melakukan Pelepasan Agung; pada hari-hari di kehidupan lampau Tathagata juga meninggalkan dunia.”
Para bhikkhu bertanya pada Sang Bhagava penjelasan mengenai hal ini. Sang Bhagava menyingkap dengan jelas apa yang telah tersembunyi dari mereka oleh kelahiran kembali.
*****************************************************************************************************
Pada suatu ketika di Mithila di kerajaan Videha hiduplah seorang raja bernama Makhādeva, yang hidup dengan benar dan memerintah dalam kebenaran pula. Untuk periode berturut-turut selama delapan puluh empat ribu tahun ia telah menyenangkan dirinya dengan menjadi pangeran, memerintah sebagai raja muda, dan kemudian memerintah sebagai raja. Selama bertahun-tahun telah ia lalui, sampai pada suatu hari ia berkata kepada tukang cukurnya, -
“Katakanlah padaku, teman tukang cukur, ketika Anda melihat ada uban di kepalaku.”
Jadi suatu hari, bertahun-tahun setelah itu, si tukang cukur itu menemukan sehelai rambut beruban raja, dan dia pun mengatakannya kepada raja.
“Cabutlah rambut itu, temanku,” kata raja; “dan letakkan di telapak tanganku.”
Si tukang cukur rambut mencabut uban itu dengan penjepit emasnya dan meletakkannya di tangan raja. Raja pada saat itu masih memiliki delapan puluh empat ribu tahun lagi untuk hidup; namun demikian, saat ia melihat sehelai rambutnya beruban ia dipenuhi dengan emosi yang mendalam. Dia tampak melihat Raja Maut berdiri di atasnya.
“Bodoh kamu Makhādeva!” ia berseru; “uban telah datang kepadamu sebelum kamu telah membebaskan dirimu dari keburukan moral.”
Dan ketika dia berpikir dan berpikir tentang penampilan dari rambut ubannya, tumbuh semangat dalam dirinya; keringat bergulir turun dari tubuhnya; sementara pakaiannya tampak tak tertahankan. “Hari ini,” pikir dia, “Aku akan meninggalkan dunia untuk menjalani kehidupan suci.”
Kepada tukang cukurnya ia memberikan hadiah sebuah desa yang menghasilkan seratus ribu keping uang. Ia memanggil putra tertuanya dan berkata kepadanya, “Anakku, uban telah muncul padaku dan aku menjadi tua. Aku telah menikmati kebahagiaan manusia dan waktunya untuk merasakan kegembiraan surgawi, waktunya untuk pelepasan agung telah tiba. Ambillah kedaulatan ini untuk dirimu; sedangkan bagiku, aku akan mengambil tempat tinggal di tempat yang disebut kebun Mangga Makhādeva, dan di sanalah aku akan menapaki jalan pertapa. “
Ketika ia bertekad menjalani kehidupan suci, para menteri mendekat dan berkata, “Apa alasannya, Yang Mulia, mengapa Anda mengadopsi kehidupan pertapa?”
Mengambil rambut abu-abu di tangannya, sang raja mengulangi bait ini kepada para menterinya: –
Inilah, ini rambut yang abu-abu yang muncul di kepalaku
Kematian itu sendiri adalah utusan yang datang untuk merampok
hidupku.
Kali ini aku berpaling dari hal-hal duniawi,
Dan
hidup di jalan pertapa untuk mencari kedamaian.
Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, ia melepaskan kedaulatannya dan pada hari yang sama juga ia menjadi seorang pertapa. Tinggal di dalam kebun Mangga Makhādeva, dia di sana selama delapan puluh empat ribu tahun memupuk Empat Keadaan Batin Sempurna dalam dirinya, dan meninggal dengan pemahaman penuh dan utuh, kemudian terlahir kembali di Alam Brahma. Setelah itu, ia menjadi raja lagi di Mithila, dengan nama Nimi, dan setelah menyatukan keluarganya yang tersebar, sekali lagi ia menjadi seorang pertapa di dalam kebun Mangga yang sama, memenangkan Empat Keadaan Batin Sempurna dan setelah itu terlahir kembali ke Alam Brahma.
********************************************************************************************************
Setelah mengulangi pernyataan bahwa Beliau juga telah melakukan pelepasan agung pada kehidupan lampauNya, Buddha di akhir pelajarannya mengajarkan Empat Kebenaran Mulia. Beberapa bhikkhu memasuki tahap Pertama, beberapa tahap Kedua, dan beberapa tahap Ketiga. Setelah kedua cerita berakhir, Buddha menghubungkan keduanya dan mengidentifikasi Kelahiran, dengan mengatakan: – “Pada masa itu Ananda adalah tukang cukur, Rahula adalah putra raja, dan Aku sendiri adalah Raja Makhādeva.”

Gamani Jataka Kisah tentang kekuatan tekad Jataka 8

Sumber: http://www.sacred-texts.com/bud/j1/j1011.htm
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen

Picture source:
http://www.jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=128:08-gamini-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
******************************************************************************************************
Tekad hati mereka.” – Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana tentang seorang bhikkhu yang menyerah dalam perjuangannya.
Bertahan dengan nasihat dari Bodhisatta, Pangeran Gāmani meskipun bungsu dari seratus bersaudara, menemukan dirinya sendiri dikelilingi oleh saudara-saudaranya sebagai rombongan pendamping dan duduk di bawah kanopi putih kerajaan, merenungkan kemuliaan-Nya dan berpikir
“Untuk semua kemuliaan ini aku berutang kepada Guruku.”
Dan, dalam kegembiraan, ia mengucapkan dengan lantang ucapan tulus berikut ini:
Tekad hati mereka, mereka dapatkan dengan tidak tergesa-gesa;
Ketahuilah, Gāmani,
kedewasaan adalah milikmu.


Tujuh atau delapan hari setelah ia menjadi raja, semua saudara-saudaranya berangkat pulang ke rumah mereka masing-masing. Raja Gāmani, setelah memerintah kerajaannya dalam kebenaran, meninggal dunia sesuai dengan jasa kebajikannya. Demikian pula dengan Bodhisatta.
_____________________________
Pelajaran berakhir, Sang Bhagava mengajarkan Kebenaran. Menjelang akhir khotbah, para bhikkhu yang berkecil hati (kurang gigih) berhasil menyadari dan mencapai tingkat kesucian Arahat. Setelah menyampaikan kedua cerita di atas, Buddha menghubungkan keduanya bersama-sama dan mengidentifikasi kelahiran.

Katthahari Jataka "Akulah Anakmu" Jataka 7

Sumber: http://www.sacred-texts.com/bud/j1/j1010.htm
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen

Picture source:
http://www.jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=129:07-katthahari-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
*******************************************************************************************************
Akulah anakmu.”- Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana tentang kisah Vāsabha-Khattiyā, yang akan ditemukan di dalam Buku Kedua Belas dalam Bhaddasāla-Jataka. Tradisi memberitahukan kepada kita bahwa ia adalah putri dari Mahānāma Sakka dengan seorang budak wanita bernama Nāgamuṇḍā, dan bahwa ia kemudian menjadi permaisuri raja Kosala. Ia mengandung seorang anak lelaki, tetapi raja ketika mengetahui asal-usul permaisurinya yang memiliki ibu seorang budak, menurunkan tahta permaisurinya, dan juga tahta anaknya Viḍūḍabha. Ibu dan anak tidak pernah ke luar istana.
Mendengar hal ini, Buddha pada saat awal fajar datang ke istana ditemani oleh lima ratus bhikkhu, dan sambil duduk di kursi yang telah disiapkan untuknya, Beliau berkata, “Yang Mulia, di mana Vāsabha-Khattiyā?”
Kemudian raja menceritakan apa yang terjadi.
“Yang Mulia, anak siapakah Vāsabha-Khattiyā?”
“Putri Raja Mahānāma, Tuanku.”
“Ketika ia datang kemari, kepada siapakah dia menjadi istri?”
“Bagi saya, Tuanku.”
“Yang Mulia, dia adalah putri raja, pada seorang raja jugalah ia menikah dan untuk seorang raja pula ia melahirkan seorang anak laki-laki.” Oleh karena itu, apakah anak itu tidak memiliki otoritas atas wilayah seperti yang dimiliki ayahnya? Pada jaman dahulu kala, seorang raja yang memiliki seorang putra yang tidak sah tetap memberikan kedaulatan-nya pada anaknya. “
Raja kemudian bertanya pada Sang Bhagava untuk menjelaskan hal ini. Sang Bhagava membuat jelas apa yang telah tersembunyi dari dirinya oleh kelahiran kembali.
****
Pada suatu waktu Brahmadatta bertahta sebagai raja di Benares. Setelah kehilangan kesenangannya, dia pergi mengembara mencari buah-buahan dan bunga-bunga sampai pada suatu ketika ia berjumpa dengan seorang perempuan yang bernyanyi riang sambil mengambil ranting-ranting di kebun. Jatuh cinta pada pandangan pertama, raja kemudian menjadi lebih akrab dengannya, dan pada akhirnya Bodhisatta dikandung dalam rahim perempuan tersebut. Merasa tambah berat seakan-akan disambar oleh petir Indra, wanita itu mengetahui bahwa dia akan menjadi seorang ibu dan mengatakan hal itu kepada raja. Raja memberinya cincin stempel dari jarinya dan memberinya dengan kata-kata berikut ini: – “Jika yang lahir adalah seorang gadis, gunakanlah cincin ini untuk membesarkannya, tetapi jika yang lahir adalah laki-laki, bawalah cincin dan anak itu kepada saya.”
Ketika waktunya tiba, wanita tersebut melahirkan Bodhisatta. Dan ketika Bodhisatta bisa berlari dan bermain di taman bermain, suara teriakan muncul, “Tidak – ayah telah memukul saya!” Mendengar ini, Bodhisatta lari kepada ibunya dan bertanya siapa ayahnya.
“Kamu adalah putra Raja Benares, anakku.”
“Apa bukti yang ada, ibu?”
“Anakku, raja pada saat meninggalkanku memberi ibu cincin stempel ini dan berkata, ‘Jika yang lahir adalah seorang gadis, gunakanlah cincin ini untuk membesarkannya, tetapi jika yang lahir adalah laki-laki, bawalah cincin dan anak itu kepada saya’.”
“Mengapa kemudian ibu tidak membawaku bertemu dengan ayah, ibu? “
Melihat bahwa pikiran anak itu telah mantap, ia membawa anaknya menuju pintu gerbang istana, dan meminta kedatangan mereka diberitahukan kepada raja. Pada saat dipanggil masuk, ia masuk dan membungkuk memberi salam pada rajanya dan berkata, “Ini adalah anakmu, Tuanku.”
Raja cukup tahu bahwa ini adalah kebenaran, tapi malu di depan semua pejabat pengadilan menjawab, “Dia bukan anakku.”
“Tapi di sini adalah cincin stempel Anda, Tuanku; Anda akan mengenali cincin ini.”
“Ini bukan cincin stempel saya.”
Lalu kata wanita itu, “Yang Mulia, saya sekarang tidak memiliki saksi untuk membuktikan kata-kata saya, kecuali kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, jika Anda adalah ayah dari anak saya, saya berdoa agar dia dapat melayang di udara, tetapi jika tidak, maka biarlah ia jatuh ke bumi dan terbunuh.”
Setelah mengatakan hal itu, ia memegang kaki Bodhisatta dan melemparkannya ke udara.
Duduk bersila melayang di udara, Bodhisatta dengan suara merdu mengulangi bait ini kepada ayahnya, yang menyatakan kebenaran: –
Anakmu adalah aku, raja yang besar; peluklah saya, Paduka!
Seorang Raja memeluk orang lain, tetapi memeluk jauh lebih erat anaknya sendiri.

Mendengar kata-kata Bodhisatta mengajarkan kebenaran kepada raja, raja segera mengulurkan tangan dan berseru, “Datanglah padaku, Nak! Tidak ada, tidak ada yang lainnya, tapi aku akan memeluk dan membesarkanmu!”
Seribu tangan terulur untuk menangkap Bodhisatta; tetapi hanya ke tangan raja sajalah Bodhisatta turun sambil duduk di pangkuan raja. Raja mengangkatnya menjadi raja muda, dan mengangkat ibunya menjadi permaisuri. Pada saat kematian ayahnya, ia datang memenuhi tahtanya dengan gelar Raja Kaṭṭhavāhana, dan setelah memerintah kerajaannya dengan benar, meninggal dunia untuk membayar sesuai dengan jasa-jasa kebajikannya.
_____________________________
Pelajarannya kepada raja Kosala berakhir, dan dari dua kisah berbeda di atas, Sang Bhagava membuat pertalian yang menghubungkan keduanya bersama-sama dan mengidentifikasikan kelahiran dengan mengatakan: – “Mahāmāyā adalah ibu dari masa itu, Raja Suddhodana adalah ayah, dan Saya sendiri Raja Kaṭṭhavāhana. “
***************************************************************************************************
Moral yang bisa diambil dari kisah di atas antara lain:
- Yakinlah akan kebenaran, katakanlah hanya kebenaran
- Sikap bertanggungjawab adalah sikap yang harus dimiliki semua orang, terlebih oleh seorang pemimpin
- Asal usul seseorang tidak menentukan kebajikan atau kualitas dirinya

Devadhamma Jataka Pangeran Ahimsasa dan peri air (Jataka 6)

Sumber: http://www.buddhabihar.com/jataka_story_6.html
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
6 devadhamma jataka
Picture source: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=130:06-devadhamma-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
***
“Mereka hanya disebut ‘mirip dewa’.” – Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana mengenai seorang bhikkhu yang kaya raya.
Tradisi mengatakan kepada kita semua bahwa pada kematian istrinya, seorang pengawal dari Sāvatthi bergabung dengan Persaudaraan Sangha. Ketika dia bergabung, dia harus membuat sebuah gubuk tinggal untuk dirinya sendiri, sebuah ruangan untuk perapian, dan ruang penyimpanan, dan sebelum ia mengisi ruang penyimpanannya dengan ghee, beras, dan sejenisnya, dia akhirnya bergabung menjadi seorang bhikkhu. Bahkan setelah ia menjadi seorang bhikkhu, ia meminta pelayan-pelayannya memasak makanan yang dia sukai. Dia disediakan dalam segala hal, – mengganti pakaiannya untuk malam dan satu lagi untuk pagi hari, dan ia pun tinggal sendiri di pinggiran wihara.
Suatu hari ketika ia membawa keluar kain dan selimut dan setelah menjemurnya, sejumlah bhikkhu dari kerajaan lain, yang berziarah dari wihara ke wihara, datang dalam perjalanan mereka ke gubuknya dan menemukan semua barang ini.
“Milik siapakah ini?” mereka bertanya. “Milik saya, Yang Mulia,” jawabnya. “Apa, Yang Mulia?” mereka berseru; “atas kain ini dan itu juga; kain di bawah ini serta itu; dan bahwa selimut ini juga, semua adalah milikmu?” “Ya, semuanya milikku.” “Yang Mulia,” kata mereka, “Sang Bhagava hanya memiliki tiga kain dan, meskipun Sang Buddha, yang ajaranNya telah Anda mengabdikan diri, adalah sangat sederhana dalam keinginan, Anda telah mengumpulkan semua stok keperluan ini. Ayo! Kita harus membawa Anda ke hadapan Guru Yang Maha Bijaksana.” Dan, begitu mengatakan hal tersebut, mereka pergi bersamanya ke Sang Bhagava.
Menyadari kehadiran mereka, Buddha berkata, “Ada apa Saudara-saudara, sehingga Anda telah membawa Saudara ini secara paksa?” “Yang Mulia, saudara ini adalah bhikkhu kaya dan memiliki cukup persediaan keperluan.” “Apakah benar, Saudara, sebagaimana yang mereka katakan, bahwa kamu memiliki begitu banyak barang?” “Ya, Bhagava.” “Tetapi mengapa, Saudara, mengapa Anda mengumpulkan barang-barang ini? Bukankah Aku telah mengatakan kebajikan dari memiliki sedikit keinginan, memiliki rasa puas, dan sebagainya, kesendirian, dan keteguhan hati?”
Marah oleh kata-kata Guru, ia berseru, – “Lalu aku akan pergi seperti ini!” Dan, sambil melepas pakaian luar, ia berdiri di tengah-tengah mereka hanya mengenakan kain pinggangnya.
Kemudian, sebagai dukungan moral untuk dia, Sang Guru berkata, “Bukankah Engkau, Saudaraku, yang pada hari-hari dahulu adalah seorang pencari rasa malu akan ketakutan untuk berbuat dosa, dan bahkan ketika Anda terlahir sebagai setan air dan hidup selama dua belas tahun masih tetap mencari rasa malu itu? Bagaimana kemudian Anda bisa, setelah bersumpah untuk mengikuti ajaran berat Buddha, Anda melempar jubah luar dan berdiri di sini tanpa rasa malu?”
Mendengar kata-kata Sang Guru, rasa malu kembali menghampirinya, ia mengenakan jubahnya lagi, dan memberi hormat kepada Guru, kemudian duduk di sampingNya.
Para sesepuh kemudian meminta Sang Bhagava untuk menjelaskan kepada mereka hal yang telah Beliau sebutkan tadi. Sang Bhagava menjelaskan apa yang telah tersembunyi dari mereka oleh kelahiran kembali.
Pada suatu hari, ketika Brahmadatta memerintah di Benares di Kasi. Bodhisatta pada masa itu terlahir sebagai putra raja oleh pemaisuri, dan dia diberi nama Pangeran Mahiṃsāsa. Pada saat ia mulai bisa berlari, putra kedua raja lahir, dan mereka memberi nama anak ini dengan sebutan Pangeran Bulan, tetapi pada saat ia bisa berlari seperti itu, ibu Bodhisatta meninggal. Lalu raja mengangkat ratu lain, yang adalah pelipur lara dan penghibur bagi raja, dan cinta mereka dihadiahi dengan kelahiran pangeran lain, yang mereka berinama Pangeran Matahari. Dalam sukacita pada saat kelahiran anaknya itu, raja berjanji untuk mengabulkan apa pun permintaan ratu barunya kepadanya atas nama anak yang baru lahir tersebut. Tetapi ratu meminta agar janji itu ditunda dan dipenuhi pada waktu yang tepat. Kemudian, ketika anaknya telah tumbuh dewasa, ia berkata kepada raja, “Yang Mulia, ketika anak saya lahir, engkau memberiku berkah untuk meminta apapun kepadamu. Biarkanlah anakku menjadi raja.”
“Tidak,” kata raja; “dua anak laki-lakiku, berseri-seri seperti panah-panah api; Aku tidak dapat memberikan kerajaan kepada anakmu.” Tetapi ketika ia melihat bahwa, tidak gentar dengan penolakan ini, sang ratu terus mengusiknya dari waktu ke waktu, untuk mengabulkan permintaannya. Raja, takut kalau-kalau wanita tersevut melakukan persengkokolan jahat terhadap anak-anaknya, mengutus mereka dan berkata, “Anak-anakku, ketika Pangeran Matahari lahir, aku memberinya anugerah, dan sekarang ibunya menginginkan kerajaan ini untuk putranya. Aku tidak ingin memberinya kerajaan, tetapi wanita secara alami jahat, dan ia akan berencana jahat terhadap kalian. Kalian lebih baik pergi sementara ke hutan, dan kembali lagi pada saat kematian saya untuk memerintah kerajaan ini yang memang adalah hak kalian.” Mengatakan itu, dengan air mata dan ratapan, raja mencium kedua putranya di kepala dan mengutus mereka pergi.
Ketika kedua pangeran itu pergi meninggalkan istana setelah berpamitan pada ayahnya, seseorang melihat mereka dan orang itu tak lain adalah Pangeran Matahari sendiri, yang sedang bermain di halaman. Dan tak lama kemudian dia menyadari apa yang terjadi dan dia pun memutuskan untuk pergi dengan saudara-saudaranya. Jadi ia juga pergi bersama kedua saudaranya.
Ketiga pangeran itu tiba di wilayah Himalaya; dan di sini Bodhisatta, yang telah berpaling dari jalan dan sedang duduk di kaki pohon, berkata kepada Pangeran Matahari, “Larilah ke kolam sana, Matahari sayang; minum dan mandilah di sana, dan kemudian bawakanlah kami sedikit air di daun teratai.” (Sekarang kolam itu telah diserahkan kepada setan air oleh Vessavaṇa, yang berkata kepadanya, “Dengan pengecualian siapapun yang tahu jawaban apa yang benar-benar ‘seperti dewa’, semua yang turun ke dalam kolam ini adalah milikmu untuk dilahap. Sedangkan orang-orang yang tidak masuk air, maka kamu tidak memiliki kekuasaan untuk melahap mereka.” Dan sejak itu setan air bertanya kepada semua orang yang turun ke dalam kolam apa yang benar-benar seperti dewa, dan melahap semua orang yang tidak tahu jawabannya.)
Sekarang Pangeran Matahari telah turun ke dalam kolam, cukup ceroboh sehingga ia ditangkap oleh setan air, yang bertanya kepadanya, “Apakah Anda tahu apa yang benar-benar seperti dewa?” “O ya,” katanya; “matahari dan bulan.” “Kau tidak tahu,” kata si setan air dan ia pun menyeret sang pangeran ke dasar kolam, dipenjarakan di sana di kediamannya sendiri. Menemukan bahwa adiknya sudah lama pergi dan belum kembali, Bodhisatta mengutus Pangeran Bulan. Namun ia juga ditahan oleh setan air dan bertanya apakah dia tahu apa yang benar-benar serupa dewa. “Oh ya, aku tahu,” katanya; “Empat Kuartal Surga.” “Kau tidak tahu,” kata si setan air ketika ia menangkap korban kedua ini ke penjara yang sama.
Menemukan bahwa saudara keduanya juga pergi terlalu lama, Bodhisatta merasa yakin bahwa sesuatu telah terjadi pada mereka. Jadi ia pergi dan melacak jejak mereka turun ke dalam air. Segera menyadari bahwa kolam itu adalah wilayah kekuasaan setan air, ia menyandangkan pedangnya dan mengambil busur di tangannya, dan menunggu. Sekarang ketika iblis itu menyadari bahwa Bodhisatta tidak berniat memasuki air, ia menjelma menjadi seorang penghuni hutan, dan dalam penyamaran ini dia bertanya pada Bodhisatta demikian: “Kamu lelah dengan perjalanan Anda, mengapa kamu tidak pergi ke dalam kolam, mandi dan minum, dan membaringkan diri Anda sejenak di atas teratai-teratai? Anda akan bepergian dengan nyaman sesudahnya.” Menyadari pada saat itu juga bahwa dia adalah setan, Bodhisatta berkata, “Jadi kamulah yang telah menyita saudara-saudaraku.” “Ya, benar,” jawabnya. “Mengapa?” Karena semua orang yang turun ke kolam ini milik saya.” “Apa, semua orang?” “Tidak, hanya orang-orang yang tahu jawaban apa yang benar-benar serupa dewa adalah yang selamat, sedangkan yang tidak mengetahui jawabannya adalah milikku.” “Dan apakah Anda ingin tahu apa yang seperti dewa itu?” “Iya.” “Jika begitu, aku akan memberi tahu Anda apa yang benar-benar seperti dewa.” “Jawablah, dan aku akan mendengarkan.”
“Saya ingin menjawabnya,” kata Bodhisatta, “tetapi aku ternoda selama perjalanan-perjalanan saya.” Kemudian setan air itu memandikan Bodhisatta, dan memberinya makanan untuk dimakan dan air untuk diminum, menghiasnya dengan bunga-bunga, menaburinya dengan aroma wewangian, dan meletakkan alas teratai untuknya. Duduk sendiri di alas ini, dan membuat setan air duduk di kakinya, si Bodhisatta berkata, “Dengar ini dan Anda akan mendengar jawaban apa yang benar-benar seperti dewa.” Dan ia mengucapkan bait ini: –
Mereka yang disebut ‘serupa dewa’ adalah mereka yang mengurangi dosa,
Pertapa berjiwa putih yang tenang dan penuh nilai kebajikan.
Dan ketika setan mendengar ini, ia merasa senang, dan berkata kepada Bodhisatta, “Manusia bijaksana, saya senang dengan Anda, dan saya akan mengembalikan Anda satu dari dua saudara Anda. Mana yang akan saya bawakan?” “Yang termuda.” “Manusia bijaksana, meskipun Anda tahu dengan baik apa yang benar-benar seperti dewa, Anda tidak bertindak berdasarkan pengetahuan Anda.” “Kenapa begitu?” “Mengapa Anda memilih yang lebih muda dan tidak yang lebih tua, tanpa memperhatikan senioritas-nya.” “Wahai setan, saya tidak hanya tahu, tapi juga mempraktekkan pengetahuan saya. Oleh karena anak itulah kami mencari perlindungan di hutan; demi dirinyalah maka ibunya meminta kerajaan pada ayah kami, dan ayah kami, menolak untuk memenuhi permintaan ibunya, setuju untuk mengutus kami mencari perlindungan di dalam hutan. Bersama kami anak ini datang, dan dia juga tidak pernah berpikir untuk kembali lagi. Tidak seorang pun akan percaya padaku jika aku harus memberi tahu bahwa dia telah dimakan oleh setan di hutan, dan ketakutan dari aib itulah yang mendorong saya untuk memilih dia.”
“Bagus! Bagus! Hai manusia bijaksana,” teriak setan menyetujuinya; “Anda tidak hanya tahu, tapi mempraktekkan pengetahuan bijaksana Anda.” Dan sebagai tanda kegembiraannya, ia pun mengembalikan kedua saudara kepada Bodhisatta.
Lalu kata terakhirnya pada setan air, “Teman, ini sebagai konsekuensi dari perbuatan jahat Anda sendiri di masa lalu sehingga sekarang anda terlahir sebagai setan yang hidup dari daging dan darah makhluk hidup lain, dan dalam kelahiran sekarang ini juga Anda terus melakukan kejahatan. Perilaku jahat ini akan selama-lamanya menyebabkan Anda terlahir di alam neraka dan alam-alam jahat lainnya. Oleh karena itu, mulai saat ini tinggalkanlah perbuatan jahat dan hiduplah dengan kebaikan. “
Setelah membuat setan tersebut sadar, Bodhisatta dan saudara-saudaranya tetap tinggal di tempat itu di bawah perlindungan setan itu, sampai pada suatu hari ia membaca bintang-bintang dan mengetahui bahwa ayahnya telah meninggal. Kemudian dengan turut membawa setan air itu, ia kembali ke Benares dan menguasai kerajaan, mengangkat Pangeran Bulan sebagai raja muda dan Pangeran Matahari sebagai jenderal. Untuk setan air ia membuatkan sebuah rumah di tempat yang nyaman dan memastikan kediaman setan air tersedia karangan bunga terpilih, wewangian, dan makanan. Dia sendiri memerintah dalam kebenaran sampai dia meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan jasa-jasa perbuatan baiknya.
Pelajarannya berakhir, Sang Buddha mengajarkan Kebenaran, pada akhir khotbahNya bhikkhu tersebut memenangkan Buah Pemasuk Arus Pertama. Dan Yang Maha mengetahui Buddha, setelah menceritakan kisah tersebut menghubungkan keduanya, dan mengidentifikasi Kelahiran, dengan mengatakan, “Bhikkhu yang telah memasuki arus pemenang adalah setan air; Ananda adalah Pangeran Matahari , Sariputta adalah Pangeran Bulan, dan aku sendiri adalah anak laki-laki tertua, Pangeran Mahiṃsāsa.”

Tandulanali Jataka Sipenilai bodoh (Jataka5)

Sumber: http://www.buddhabihar.com/jataka_story_5.html
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
tandulanali jataka
Picture source: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=131:05-tandulanali-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
“Jangan bertanya berapa nilai setakaran beras?” – Kisah ini diceritakan oleh Buddha ketika berdiam di Jetavana. Kisah ini bercerita tentang Sesepuh Udāyi, yang disebut orang bodoh.
Pada saat itu Yang Mulia Dabba, Mallian, adalah orang yang bertanggungjawab mengurus keperluan bhikkhu. Ketika pagi hari tiba adalah tugas Dabba untuk memeriksa persediaan dan pembagian beras. Kadang-kadang pilihan beras yang berkualitas rendah jatuh ke bagian Sesepuh Udāyi. Pada suatu hari ketika ia menerima beras berkualitas rendah, ia membuat keributan di ruang pemeriksaan dan bertanya, “Apakah Dabba adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana cara membedakan kualitas beras? Bukankah kita semua juga bisa tahu caranya?” Suatu hari ketika ia membuat keributan, mereka menyerahkan keranjang pembagian beras kepada Udāyi, mengatakan, “Ini! Anda yang akan memilih sendiri jatah beras Anda hari ini!” Kemudian setelah itu, Sesepuh Udāyi-lah yang melakukan pembagian beras kepada para bhikkhu. Namun, dalam distribusi, dia tidak tahu bagaimana cara membedakan kualitas beras yang rendah dan mana beras dengan kualitas tinggi, pun dia tidak mengetahui senioritas yang berhak mendapatkan beras terbaik dan mana yang harus menerima beras berkualitas lebih rendah. Demikian pula ketika ia membuat daftar nama-nama bhikkhu senior, ia tidak mempunyai gagasan tentang senioritas di atasnya. Karenanya, ketika para sesepuh senior lain mengambil tempat makan mereka, ia membuat tanda pada tanah atau di dinding untuk menunjukkan bahwa satu kumpulan senior berdiri di sini, dan satu lagi di sana. Hari berikutnya lebih sedikit sesepuh senior ada dalam satu kumpulan yang sama di ruang itu dan lebih banyak lagi di ruang periksa; di mana terdapat lebih sedikit tanda sedangkan jumlah sesepuh senior lebih banyak. Tetapi Udāyi, masa bodoh dengan kumpulan itu dan tetap memberikan jatah beras hanya sesuai dengan tanda buatannya yang sudah tidak falid lagi.
Oleh karena itu, sesepuh senior berkata kepadanya, “Sahabat Udāyi, tanda itu terlalu banyak atau terlalu sedikit; beras yang terbaik adalah bagi mereka yang seperti itu, dan beras dengan kualitas lebih rendah adalah untuk yang seperti itu.” Tapi ia menjawab kembali dengan argumen, “Jika tanda ini adalah untuk yang itu, untuk apa engkau berdiri di sini? Mengapa saya harus percaya pada anda? Tanda buatankulah yang aku percayai.”
Kemudian, bhikkhu-bhikkhu muda dan para samanera yang mempercayakan pembagian jatah beras pada sesepuh Udayi menangis di ruang pemeriksaan, “Sesepuh Udāyi adalah orang bodoh, saat Anda yang melakukan pembagian, sesepuh senior tidak mendapat apa yang seharusnya mereka dapat; Anda tidak cocok untuk mengatur pembagian jatah ini; silakan Anda pergi dari sini. ” Sesudah itu, muncul kehebohan besar di kamar periksa.
Mendengar keributan, Sang Guru bertanya kepada Sesepuh Ananda, mengatakan, “Ananda, ada kehebohan besar di kamar periksa. Apa yang terjadi?”
Para sesepuh menjelaskan semuanya kepada Sang Buddha. “Ananda,” katanya, “ini bukan satu-satunya saat ketika Udāyi oleh kebodohannya telah merampas keberuntungan orang lain, ia melakukan hal yang sama di masa lampau juga.”
Para sesepuh bertanya pada Sang Bhagava untuk penjelasan lebih lanjut, dan Sang Bhagava membuat jelas apa yang telah disembunyikan oleh kelahiran kembali.
Suatu ketika, pada waktu itu Brahmadatta sedang memerintah di Benares di Kasi. Pada masa itu, Bodhisatta adalah seorang penilai. Ia digunakan jasanya untuk menilai harga kuda, gajah, dan sejenisnya, dan demikian pula permata, emas, dan sejenisnya; dan ia juga digunakan jasanya untuk membayar ke pemilik barang dengan harga yang tepat.
Tetapi raja itu serakah dan keserakahan mengusulkan kepadanya pemikiran sebagai berikut: “Penilai ini dengan penilaiannya yang menghargai sesuatu sesuai dengan harganya akan segera menguras semua kekayaan di istanaku, saya harus mendapatkan penilai yang lain.” Membuka jendela dan memandang keluar ke halaman, terlintas seorang bodoh dan seketika itu keserakahan raja membuatnya menginginkan si orang bodoh itu untuk menjadi pengganti si penilai. Jadi, raja memanggil orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia dapat melakukan pekerjaan itu. “Oh ya,” kata pria tersebut, dan dengan demikian, untuk menjaga harta kerajaannya, orang bodoh ini ditunjuk sebagai penilai. Setelah ini orang bodoh tersebut, dalam menilai gajah dan kuda-kuda dan sejenisnya, menggunakan harga yang ditetapkannya sendiri, mengabaikan nilai sejati mereka, tetapi, karena dia adalah penilai, maka harga yang berlaku adalah harga yang diucapkannya dan tidak yang lain.
Pada waktu itu datang dari negeri utara seorang penjual kuda dengan 500 ekor kuda. Raja memanggil penilai barunya dan memintanya untuk menilai kuda-kuda tersebut. Dan harga yang ditetapkan secara keseluruhan untuk 500 ekor kuda hanyalah satu takaran beras, yang diperintahkan untuk dibayar ke para penjual kuda, mengarahkan kuda-kuda yang akan dibawa pergi ke kandang. Dengan kecewa si penjual kuda pergi ke tempat mantan penilai, kepada siapa ia menceritakan apa yang telah terjadi, dan bertanya apa yang harus dilakukan. “Beri dia suap,” kata mantan penilai, “dan tegaskan hal ini padanya: ‘Mengetahui saat kami melakukan penawaran kuda-kuda kami dengan hanya bernilai satu ukuran takar beras, kami ingin belajar dari Anda apa nilai yang tepat untuk satu takaran beras; bisakah Anda menyatakan nilai itu di hadapan raja?’. Kalau dia bilang bisa, kemudian bawalah dia menghadap raja, dan aku juga akan berada di sana.”
Siap mengikuti nasihat Bodhisatta, si penjual kuda menyuap pria tersebut dan mengajukan pertanyaan itu kepadanya. Si penilai yakin memiliki kemampuan untuk mengungkapkan nilai ukuran beras, langsung dibawa ke istana, di mana Bodhisatta dan banyak menteri lainnya juga pergi ke sana. Dengan hormat si pedagang kuda berkata, “Yang Mulia, aku tidak membantah bahwa harga dari 500 kuda adalah ukuran setakaran beras, tetapi aku akan meminta Mulia untuk bertanya kepada penilai Anda mengenai nilai dari setakaran beras.” Tanpa belajar dari apa yang telah terjadi sebelumnya, raja berkata kepada penilainya, “Penilai, apa yang senilai dengan nilai 500 ekor kuda?” “Sebuah ukuran beras, Tuanku,” jawabnya. “Sangat bagus, temanku, jika 500 kuda bernilai satu ukuran beras, maka apakah itu nilai setakaran beras?” “Senilai dengan seluruh Benares dan sekitarnya,” jawab si bodoh.
(Dengan demikian kita belajar bahwa setelah pertama-tama menilai harga kuda-kuda dengan ukuran setakaran beras untuk menyenangkan hati raja, ia disuap oleh penjual kuda untuk memperkirakan bahwa ukuran beras itu senilai dengan seluruh wilayah Benares dan sekitarnya. Dan bahwa meskipun wilayah kota Benares seluas radius dua belas mil, tetapi kota dan pinggiran kota semuanya seluas radius tiga ratus mil! Dan tetap saja si penilai bodoh menilai semua wilayah kota besar ini dan sekitarnya seukuran tunggal beras!)
Setelah itu para menteri bertepuk tangan dan tertawa riang. “Kami biasa berpikir,” kata mereka mengejek, “bahwa bumi dan alam berada di luar harga, tetapi sekarang kita belajar bahwa Kerajaan Benares bersama-sama dengan rajanya hanya bernilai satu takaran beras! Bakat apa yang dimiliki penilai! Bagaimana ia bisa mempertahankan jabatannya begitu lama? Tetapi ia benar-benar cocok dengan raja kami yang mengagumkan. “
Kemudian Bodhisatta mengulangi bait 4:
Jangan bertanya berapa nilai setakaran beras?
- Mengapa, semua Benares, baik di dalam dan keluarnya.
Akan tetapi, walaupun aneh untuk dikatakan, lima ratus ekor kuda juga
Senilai dengan harga setakaran beras!
Dengan demikian, sambil meletakkan malu, raja mengirim pulang si orang bodoh, dan mengangkat kembali Bodhisatta. Dan ketika hidupnya berakhir, Bodhisatta meninggal dunia sesuai dengan jasa-jasa perbuatannya.
Pelajarannya berakhir dan kedua kisah yang diceritakan, Sang Buddha menghubungkannya, dan mengidentifikasi dalam kesimpulan, – “Udāyi adalah si penilai bodoh, dan aku sendiri adalah penilai yang bijak.”

Cullasetti Jataka (Jataka 4)

Sumber: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=132:04-cullasetti-jataka-&catid=42:1-50&Itemid=89
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
cullasetti jataka
Pada suatu masa, Brahmadatta sedang memerintah di Benares di Kasi, tempat dimana Bodhisatta dilahirkan dalam sebuah keluarga Bendahara. Dia pun tumbuh dewasa dan dididik menjadi seorang Bendahara, Bendahara Kecil panggilannya. Dia adalah seorang yang pandai dan bijaksana dengan mata yang tajam melihat tanda-pertanda-pertanda. Suatu hari dalam perjalanannya menuju kediaman raja, ia melihat bangkai seekor tikus yang tergeletak di jalan; dan kemudian dia memperhatikan posisi bintang-bintang pada saat itu, ia pun berkata, “Setiap anak muda yang baik dengan kecakapannya, hanya perlu mengambil bangkai tikus itu dan ia akan dapat memulai bisnis dan memiliki seorang istri.”
Kata-katanya terdengar oleh seorang pria muda dari keluarga baik-baik tetapi miskin. Pemuda itu pun berkata kepada dirinya sendiri, “Itu orang yang selalu punya alasan atas apa yang dikatakannya.” Dan karenanya ia mengambil tikus itu yang dijualnya seharga sekeping di sebuah kedai yang memiliki kucing peliharaan.
Dengan uang tersebut dia membeli gula sirup dan mengambil air minum dalam kendi air. Datanglah para pengumpul bunga yang kembali dari hutan, ia memberikan mereka masing-masing sejumlah kecil gula sirup itu dan menyiramkan air kepada mereka. Masing-masing dari mereka memberinya segenggam bunga dan dengan hasil yang dia peroleh hari itu, keesokan harinya ia kembali lagi ke tempat yang sama dan memberikan para pengumpul bunga dengan lebih banyak gula sirup dan sekendi penuh air. Hari itu sebelum para pengumpul bunga pergi, mereka memberinya tanaman berbunga dengan setengah sisanya mereka simpan sendiri dan dengan demikian dalam beberapa saat ia telah memperoleh delapan koin logam.
Kemudian, pada suatu hari turun hujan deras dan berangin, angin bertiup kencang sehingga sejumlah batang, ranting dan dedaunan masuk ke dalam taman peristirahatan raja, dan si tukang kebun tidak mengetahui bagaimana cara membersihkannya. Lalu muncullah pemuda dengan tawaran untuk membersihkan, jika kayu dan dedaunan tersebut menjadi miliknya. Penanggung jawab segera menyetujui tawaran tersebut.Maka murid Bendahara Kecil itu segera memperbaiki tempat bermain anak-anak dan dengan sedikit gula sirup berhasil meminta anak-anak yang ada disana untuk membantu mengumpulkan setiap ranting yang ada dan dia pun menumpuknya di depan pintu masuk menuju taman peristirahatan. Tepat pada saat itu pembuat tembikar kerajaan sedang keluar mencari kayu bakar untuk membuat mangkuk istana, dan melihat tumpukan tersebut. Penjualan kayu ini menghasilkan uang sejumlah enam belas koin, serta lima mangkuk dan peralatan lainnya. Setelah sekarang memiliki dua puluh empat koin, sebuah rencana terlintas dalam benaknya. Dia pergi ke sekitar gerbang kota dengan sebuah guci penuh air dan menyuplai 500 pengumpul rumput yang kehausan.Kata mereka, “Kau sudah melakukan hal yang baik pada kami, teman. Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda? ” “Oh, aku akan memberi tahu Anda saat aku membutuhkan bantuan Anda,” kata dia pergi. Demikianlah dia berhasil mengambil kepercayaan pedagang darat dan pedagang lautan. Kata salah seorang kepadanya, “Besok akan datang ke kota penjual kuda dengan 500 kuda untuk dijual.” Mendengar kabar ini, ia mengatakan pada para pengumpul rumput, “Aku ingin hari ini kalian semua memberi saya seikat rumput dan tidak menjual rumput Anda sendiri sampai rumput saya habis terjual.” “Tentu saja,” kata mereka dan mengirimkan 500 ikat rumput ke rumahnya. Karena tidak mendapatkan rumput untuk kuda-kuda di tempat lain, si penjual kuda pun membeli rumput pemuda tersebut seharga seribu keping.
Hanya beberapa hari kemudian, teman pelautnya membawa berita tentang kedatangan kapal besar di pelabuhan dan rencana lain melintas dalam benaknya. Dia menyewa sebanyak delapan keping sebuah kereta yang bisa disewa per jam, dan pergi menuju pelabuhan. Setelah membeli kapal secara kredit dengan memberikan cincin-cap nya sebagai jaminan, dia sekarang memiliki sebuah kapal kokoh dan berkata pada orang-orang, “Pedagang mana pun yang ingin kuantarkan, masuklah tiga-tiga kedalam kapalku.” Mendengar bahwa sebuah kapal dagang telah tiba di pelabuhan, sekitar seratus pedagang datang untuk membeli kargo, namun mereka diberitahu bahwa mereka tidak bisa membeli barang di pelabuhan karena seorang pedagang besar sudah melakukan pembayaran sebelumnya. Jadi mereka semua pergi ke pemuda tadi dan tiga berturut-turut diantarkan, seperti yang telah diatur sebelumnya. Setiap orang dari seratus pedagang tersebut secara bergiliran memberinya seribu keping untuk membeli barang di kapal dan kemudian seribu lagi masing-masing untuk diantarkan kembali ke pelabuhan. Begitulah murid Bendahara Kecil ini kembali ke Benares dengan uang 200.000 keping digenggamannya.
Digerakkan oleh keinginan untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, ia pergi dengan seratus ribu keping untuk Bendahara Kecil.”Bagaimana kau bisa datang dengan semua kekayaan ini?” tanya Bendahara. “Dalam waktu empat bulan yang singkat, hanya dengan mengikuti saran Anda,” jawab laki-laki muda dan ia pun menceritakan seluruh kisah, dimulai dari bangkai tikus. Pikir Majikan Bendahara Kecil ini ketika mendengar semua ini, “Aku harus memastikan agar pemuda cerdik ini tidak jatuh ke tangan orang lain.” Jadi dia menikahkan pemuda itu dengan putri gadisnya.Dan pada saat Bendahara Kecil meninggal, ia pun menjadi Bendahara di kota.Sedangkan Bodhisatta meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan jasa-jasa kebajikannya.

Sabtu, 25 September 2010

Serivanija Jataka (Jataka 3 )

Jataka 003
jataka 3
picture source: www.jathakakatha.org

Sering kali kita mendengar atau membaca kisah mengenai Devadatta yang membenci Buddha Gotama, bahkan hendak membunuh Buddha – Gurunya sendiri. Mengapa hal ini bisa sampai terjadi di dalam komunitas buddhis awal dan terlebih di masa kehidupan Buddha sendiri? Perihal apa yang menyebabkan Devadatta menaruh kebencian yang begitu mendalam pada Buddha? Jawabannya terdapat dalam kisah Jataka ketiga, berjudul “Pedagang dari Seriva”. Kisah ini menitikberatkan pada bahaya kebencian (dosa) yang muncul dari keserakahan (lobha). Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Serivanija Jataka : Pedagang Dari Seriva

Sumber: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=133:03-serivanija-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89

Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen

Pada suatu ketika di Kerajaan Seri, sekitar lima kalpa yang lampau, Bodhisatta berkutat dengan gerabah dan peralatan dapur, dan dia dipanggil dengan sebutan ‘pedagang dari Seriva’. Pedagang lain yang juga menjual barang-barang yang sama adalah seseorang yang serakah dan dipanggil pula dengan sebutan yang sama yakni ‘pedagang dari Seriva’. Mereka datang melintasi sungai Telavaha dan memasuki kota Andhapura. Dengan membagi secara adil jalan-jalan yang mereka lalui, seorang pedagang mulai menjajakan barang dagangannya di wilayahnya sendiri, dan demikian pula dengan pedagang yang lain.
Di kota tersebut terdapat pula sebuah keluarga yang miskin. Sebelumnya mereka adalah keluarga pedagang yang kaya raya, tetapi pada saat cerita ini dikisahkan mereka telah kehilangan semua anak dan saudara laki-laki dan demikian pula dengan semua kekayaan mereka. Satu-satunya yang bertahan hidup adalah seorang gadis dan neneknya. Mereka bertahan hidup dengan bekerja. Walaupun sekarang hidup dalam kemiskinan, mereka memiliki sebuah mangkuk emas di rumah mereka yang digunakan oleh kepala keluarga untuk makan, tetapi mangkuk tersebut telah ditempatkan di antara panci dan wajan, dan karena telah lama tidak digunakan, mangkuk itu pun tertutup oleh tanah dan kotoran sehingga kedua wanita itu tidak mengetahui bahwa mangkuk tersebut terbuat dari emas. Di depan pintu rumah mereka terdengar teriakan si pedagang serakah, “Jual gerabah! Jual gerabah!” Dan si gadis, ketika mengetahui ada si pedagang serakah di sana, berkata kepada neneknya, “Oh nenek, belikanlah aku sebuah gerabah.”
“Kita sangat miskin sayangku, apa yang dapat kita tawarkan sebagai penggantinya?”
“Mengapa tidak menggunakan mangkuk yang tidak berguna bagi kita ini saja. Ayo kita tukarkan dengan mangkuk ini.”
Wanita tua itu kemudian mengajak si pedagang masuk ke rumah dan duduk dan memberikan mangkuk tersebut sambil berkata, “Ambillah ini tuan, dan berikanlah sesuatu yang pantas kepada saudara perempuanmu ini sebagai gantinya.”
Si pedagang mengambil mangkuk tersebut ditangannya, membalikkannya dan mencurigai bahwa mangkuk itu sebenarnya adalah emas. Dia menggoreskan sebuah garis di bagian belakang mangkuk itu dengan sebuah jarum dan dia pun yakin bahwa mangkuk itu benar-benar terbuat dari emas. Kemudian berpikir bahwa dia dapat memiliki mangkuk tersebut tanpa memberikan sesuatu pun kepada si wanita tua, dia berteriak, “Apa nilainya mangkuk ini? Mangkuk ini bahkan tidak seharga setengah koin!” Dan seketika itu juga dia melemparkan mangkuk itu ke tanah, bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan rumah keluarga miskin itu. Sekarang, seperti yang telah disepakati sebelumnya antara kedua pedagang dari Seriva bahwa seseorang boleh berdagang di jalan yang sama seperti jalan yang telah dilalui pedagang lainnya, Bodhisatta pun melalui jalan yang sama dan muncul di depan rumah keluarga miskin tersebut, berteriak, “Jual gerabah!!” Sekali lagi si gadis meminta hal yang sama kepada neneknya dan si wanita tua itu pun membalas, “Sayangku, pedagang pertama tadi melemparkan mangkuk kita ke tanah dan pergi meninggalkan rumah. Apa lagi yang bisa kita tawarkan sekarang?”
“Oh, tetapi pedagang tadi adalah orang yang bermulut kasar, nenekku sayang; sebaliknya pedagang ini kelihatannya orang yang baik hati dan bertutur kata halus. Sangat besar kemungkinan dia bersedia mengambil mangkuk ini.”
“Kalau begitu panggillah dia masuk.”
Maka si pedagang itu pun masuk ke dalam rumah dan mereka memberikan sebuah tempat duduk dan memberikan mangkuk ke tangan si pedagang. Melihat bahwa mangkuk itu terbuat dari emas, dia berkata, “Ibu, mangkuk ini senilai dengan seratus ribu keping; saya tidak mempunyai uang sebanyak itu.” “Tuan, pedagang pertama yang datang kemari berkata bahwa mangkuk ini tidak senilai dengan setengah koin, jadi dia pun melemparnya ke tanah dan pergi. Ini pastilah berkah dari kebaikanmu yang mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah dan berikanlah kami sesuatu sebagai gantinya dan pergilah.” Pada waktu itu Bodhisatta memiliki 500 keping uang dan persediaan barang yang jauh lebih besar harganya. Semuanya diberikan kepada keluarga miskin tersebut sambil berkata, “Kalau begitu sisakan saja tas dan timbanganku, serta delapan keping uang untukku.”Dan dengan persetujuan mereka dia pun menyimpan sisa barang dan uang tadi, dan pergi menuju ke sisi sungai dimana dia memberikan delapan keping uangnya kepada tukang perahu dan pergi menyeberang sungai.
Setelah beberapa saat, si pedagang serakah kembali ke rumah itu dan bertanya apakah mereka akan memberikan mangkuk mereka sambil berkata akan memberikan mereka sesuatu sebagai gantinya. Tetapi si wanita tua mengusirnya dengan kata-kata berikut ini, “Kamu yang berkata bahwa mangkuk emas kami yang berharga seratus ribu keping bahkan tidak senilai dengan setengah koin. Tetapi tadi telah datang seorang pedagang jujur yang memberikan kami seribu keping sebagai gantinya dan dia telah mengambil mangkuk itu pergi.”
Kemudian si pedagang serakah itu berseru, “Dia telah merampok mangkuk emas seharga seratus ribu keping yang seharusnya milikku; dia telah membuatku rugi banyak.” Dan kepedihan mendalam datang menyelimutinya sehingga dia kehilangan kendali diri dan menjadi seperti orang gila. Semua uang dan barang dagangannya dilemparkan di depan pintu rumah, dia membuang pakaian atas dan bawahnya dan dengan bersenjatakan tongkat timbangannya sebagai alat pemukul, dia berlari mengejar Bodhisatta hingga ke tepi sungai. Mengetahui bahwa Bodhisatta telah menyeberang, dia berteriak kepada tukang perahu untuk kembali tetapi Bodhisatta memerintahkannya untuk meneruskan perjalanan. Pedagang serakah itu pun hanya bisa berdiri di sana menatap dan memandangi Bodhisatta dari jauh, kepedihan mendalam datang menghantuinya, hatinya semakin panas, darah mengucur dari mulutnya, dan hatinya pecah seperti lumpur di dasar kolam yang mengering. Melalui kebencian yang telah ditanamnya kepada Bodhisatta, ia tewas saat itu juga. (Ini adalah pertama kalinya Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisatta) Sedangkan Bodhisatta, setelah menghabiskan sisa hidupnya dengan amal dan perbuatan baik lainnya, meninggal dunia sesuai dengan jasa kebajikannya.

Vannupatha Jataka(jataka2)

JATAKA 002
jataka2
picture source: www.jathakakatha.org

Kisah kedua dari Jataka mirip seperti kisah pertama Jataka. Kisah ini menceritakan tentang pengembaraan seorang saudagar bersama dengan orang-orangnya yang melintasi padang pasir. Namun berbeda dengan makna yang terkandung di dalam Jataka kisah pertama, Vannupatha Jataka ini lebih menitikberatkan pada pentingnya keyakinan yang dimiliki seseorang untuk terus maju dan berpikir jernih, terlebih apabila kita berada di antara orang-orang yang telah kehilangan keyakinannya dan putus asa. Putus asa tidak akan membawa kita kemana-mana, sebaliknya keyakinan akan membawa kita pada terwujudnya harapan. Selamat membaca!

VANNUPATHA JATAKA: MELINTASI PADANG PASIR (2)
Sumber: http://www.jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=134:02-vannupatha-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89

Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen

Pada suatu waktu, ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares-Kasi, Bodhisatta dilahirkan dalam keluarga pedagang. Ketika ia tumbuh dewasa, ia sering pergi berdagang dengan menggunakan 500 kereta. Pada suatu hari, ia tiba di sebuah padang pasir selebar enam puluh mil. Pasir di gurun tersebut sangat halus, sehingga apabila digenggam, pasir itu akan menyelinap melalui jari-jari tangan kita yang tertutup. Begitu matahari terbit, gurun tersebut berubah menjadi tempat tidur dengan panas arang-bara dan membuatnya tak ada yang dapat berjalan di atasnya. Oleh karena itu, mereka yang biasanya melintasi gurun itu akan membawa kayu bakar, air, minyak, beras dan sebagainya di dalam gerobak kereta mereka dan hanya melintas di malam hari. Saat fajar, mereka biasanya akan membentuk formasi kereta mereka dalam sebuah lingkaran, dengan tenda menyebar di atas kepala, dan setelah makan pagi mereka duduk di tempat teduh sepanjang hari. Ketika matahari terbenam, mereka akan makan malam dan secepat gurun tersebut menjadi dingin, mereka akan segera menaiki kereta mereka dan bergerak maju melintasi padang pasir. Perjalanan melintasi padang pasir ini seperti berpetualang mengarungi samudra. Seorang ‘juru-gurun’demikian ia dipanggil, harus membimbing para pedagang dengan pengetahuan perbintangan. Dan dengan cara inilah pedagang kita (Bodhisatta) bepergian melintasi padang pasir pada masa itu.
Ketika hanya tinggal sekitar tujuh mil lagi sebelum mereka keluar dari gurun, ia berpikir, “Malam ini kami akan keluar dari belantara berpasir ini.” Jadi, setelah mereka menyantap makan malam mereka, ia memerintahkan kayu dan air untuk dibuang, dan menjalankan keretanya melintasi jalur yang ada. Kereta di depan menjadi tempat bagi juru-gurun untuk duduk sambil menengadah melihat bintang-bintang di langit dan mengarahkan iringan kereta tersebut. Tapi karena begitu lama dia belum tidur sehingga ia menjadi lelah dan jatuh tertidur. Hal ini mengakibatkan dia tidak manyadari bahwa sapi-sapinya telah berbalik arah dan kembali menyusuri langkah-langkah mereka sebelumnya. Sepanjang malam sapi-sapi terus berjalan tetapi pada waktu fajar juru-gurun itu terbangun dan mengamati letak bintang-bintang di langit. Ia berteriak, “Putar kembali gerobak! Putar kembali gerobak!” Dan ketika mereka membalik putaran gerobak dan membentuk mereka ke dalam baris, matahari telah terbit. “Mengapa ini adalah tempat kami berkemah kemarin,” teriak orang-orang dari karavan. “Semua kayu dan air hilang dan kita tersesat.” Demikian dikisahkan, mereka memberhentikan kereta mereka, membuat formasi dan mendirikan tenda di atas kepala mereka; kemudian setiap orang melemparkan diri ke dalam keputus-asaan di bawah gerobak masing-masing. Brahmadatta berkata pada dirinya sendiri, “Jika saya menyerah, setiap orang disini akan binasa.” Jadi, ia berjalan ke sana kemari ketika hari masih pagi dan dingin, sampai dia menemukan sekumpulan rumput Kusa. “Rumput ini,” pikir dia, “hanya dapat tumbuh di sini berkat kehadiran air di bawahnya.” Jadi ia memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil sekop dan menggali sebuah lubang di tempat tersebut. Enam puluh kubik mereka menggali sampai pada kedalaman mereka menemukan batu dan ini membuat semua orang menjadi kecil hati. Tetapi Brahmadatta merasa yakin harus ada air di bawah batu itu, ia pun turun ke dalam lubang dan berdiri di atas batu tersebut. Ia kemudian membungkuk dan menempelkan telinganya. Menangkap suara air mengalir di bawah batu, ia keluar dan berkata kepada kerumunan orang-orangnya, “Anakku, jika kalian menyerah sekarang, kita akan binasa. Jadi yakinlah dan percayalah. Turunlah ke dalam lubang itu dengan palu besi ini dan hancurkanlah batu itu. “
Mematuhi perintah tuannya, para pemuda yang yakin turun ke dalam lubang dan menghantam batu tersebut, sedangkan sisanya adalah orang-orang yang telah kehilangan keyakinan mereka. Batu yang telah membendung aliran air itu terbelah. Air mancur pun muncul dari dalam lubang itu sampai setinggi pohon palem; dan semua orang minum dan mandi. Kemudian mereka membersihkan peralatan, kereta dan perlengkapan lainnya, memasak nasi dan memakannya, dan memberi makan sapi-sapi mereka. Dan segera setelah matahari terbenam, mereka membereskan tenda mereka dan melanjutkan perjalanan menuju tujuan mereka. Di sana mereka menukar barang-barang mereka dengan harga dua hingga empat kali lipat nilai aslinya. Dengan hasil mereka kembali ke rumah mereka sendiri, tempat mereka menghabiskan sisa hidup mereka dan pada akhirnya meninggal dunia untuk selanjutnya sesuai dengan jasa kebajikan masing-masing. Demikian pula Brahmadatta setelah menghabiskan sisa hidupnya dengan amal dan perbuatan baik lain, meninggal dunia juga untuk membayar sesuai dengan jasa kebajikannya.
***
Rumput Kusa: sejenis rumput yang biasa digunakan dalam upacara ritual para brahmana

Jumat, 24 September 2010

Apannaka Jataka (Jataka 1)

While the Buddha was staying at Jetavana Monastery near Savatthi, the wealthy banker, Anathapindika, went one day to pay his respects. His servants carried masses of flowers, perfume, butter, oil, honey, molasses, cloths, and robes. Anathapindika paid obeisance to the Buddha, presented the offerings he had brought, and sat down respectfully. At that time, Anathapindika was accompanied by five hundred friends who were followers of heretical teachers. His friends also paid their respects to the Buddha and sat close to the banker. The Buddha's face appeared like a full moon, and his body was surrounded by a radiant aura. Seated on the red stone seat, he was like a young lion roaring with a clear, noble voice as he taught them a discourse full of sweetness and beautiful to the ear.
After hearing the Buddha's teaching, the five hundred gave up their heretical practices and took refuge in the Triple Gem: the Buddha, the Dhamma, and the Sangha. After that, they went regularly with Anathapindika to offer flowers and incense and to hear the teaching. They gave liberally, kept the precepts, and faithfully observed the Uposatha Day.[1] Soon after the Buddha left Savatthi to return to Rajagaha, however, these men abandoned their new faith and reverted to their previous beliefs.
Seven or eight months later, the Buddha returned to Jetavana. Again, Anathapindika brought these friends to visit the Buddha. They paid their respects, but Anathapindika explained that they had forsaken their refuge and had resumed their original practices.
The Buddha asked, "Is it true that you have abandoned refuge in the Triple Gem for refuge in other doctrines?" The Buddha's voice was incredibly clear because throughout myriad aeons He had always spoken truthfully.
When these men heard it, they were unable to conceal the truth. "Yes, Blessed One," they confessed. "It is true."
"Disciples," the Buddha said "nowhere between the lowest of hells below and the highest heaven above, nowhere in all the infinite worlds that stretch right and left, is there the equal, much less the superior, of a Buddha. Incalculable is the excellence which springs from obeying the Precepts and from other virtuous conduct."
Then he declared the virtues of the Triple Gem. "By taking refuge in the Triple Gem," He told them, "one escapes from rebirth in states of suffering." He further explained that meditation on the Triple Gem leads through the four stages to Enlightenment.
"In forsaking such a refuge as this," he admonished them, "you have certainly erred. In the past, too, men who foolishly mistook what was no refuge for a real refuge, met disaster. Actually, they fell prey to yakkhas — evil spirits — in the wilderness and were utterly destroyed. In contrast, men who clung to the truth not only survived, but actually prospered in that same wilderness."
Anathapindika raised his clasped hands to his forehead, praised the Buddha, and asked him to tell that story of the past.
"In order to dispel the world's ignorance and to conquer suffering," the Buddha proclaimed, "I practiced the Ten Perfections for countless aeons. Listen carefully, and I will speak."
Having their full attention, the Buddha made clear, as though he were releasing the full moon from behind clouds, what rebirth had concealed from them.
Long, long ago, when Brahmadatta was reigning in Baranasi, the Bodhisatta was born into a merchant's family and grew up to be a wise trader. At the same time, in the same city, there was another merchant, a very stupid fellow, with no common sense whatsoever. One day it so happened that the two merchants each loaded five hundred carts with costly wares of Baranasi and prepared to leave in the same direction at exactly the same time. The wise merchant thought, "If this silly young fool travels with me and if our thousand carts stay together, it will be too much for the road. Finding wood and water for the men will be difficult, and there won't be enough grass for the oxen. Either he or I must go first."
"Look," he said to the other merchant, "the two of us can't travel together. Would you rather go first or follow after me?"
The foolish trader thought, "There will be many advantages if I take the lead. I'll get a road which is not yet cut up. My oxen will have the pick of the grass. My men will get the choicest wild herbs for curry. The water will be undisturbed. Best of all, I'll be able to fix my own price for bartering my goods." Considering all these advantages, he said, "I will go ahead of you, my friend."
The Bodhisatta was pleased to hear this because he saw many advantages in following after. He reasoned, "Those carts going first will level the road where it is rough, and I'll be able to travel along the road they have already smoothed. Their oxen will graze off the coarse old grass, and mine will pasture on the sweet young growth which will spring up in its place. My men will find fresh sweet herbs for curry where the old ones have been picked. Where there is no water, the first caravan will have to dig to supply themselves, and we'll be able to drink at the wells they have dug. Haggling over prices is tiring work; he'll do the work, and I will be able to barter my wares at prices he has already fixed."
"Very well, my friend," he said, "please go first."
"I will," said the foolish merchant, and he yoked his carts and set out. After a while he came to the outskirts of a wilderness. He filled all of his huge water jars with water before setting out to cross the sixty yojanas[2] of desert which lay before him.
The yakkha who haunted that wilderness had been watching the caravan. When it had reached the middle, he used his magic power to conjure up a lovely carriage drawn by pure white young bulls. With a retinue of a dozen disguised yakkhas carrying swords and shields, he rode along in his carriage like a mighty lord. His hair and clothes were wet, and he had a wreath of blue lotuses and white water lilies around his head. His attendants also were dripping wet and draped in garlands. Even the bulls' hooves and carriage wheels were muddy.
As the wind was blowing from the front, the merchant was riding at the head of his caravan to escape the dust. The yakkha drew his carriage beside the merchant's and greeted him kindly. The merchant returned the greeting and moved his own carriage to one side to allow the carts to pass while he and the yakkha chatted.
"We are on our way from Baranasi, sir," explained the merchant. "I see that your men are all wet and muddy and that you have lotuses and water lilies. Did it rain while you were on the road? Did you come across pools with lotuses and water lilies?"
"What do you mean?" the yakkha exclaimed. "Over there is the dark-green streak of a jungle. Beyond that there is plenty of water. It is always raining there, and there are many lakes with lotuses and water lilies." Then, pretending to be interested in the merchant's business, he asked, "What do you have in these carts?"
"Expensive merchandise," answered the merchant.
"What is in this cart which seems so heavily laden?" the yakkha asked as the last cart rolled by.
"That's full of water."
"You were wise to carry water with you this far, but there is no need for it now, since water is so abundant ahead. You could travel much faster and lighter without those heavy jars. You'd be better off breaking them and throwing the water away. Well, good day," he said suddenly, as he turned his carriage. "We must be on our way. We have stopped too long already." He rode away quickly with his men. As soon as they were out of sight, he turned and made his way back to his own city.
The merchant was so foolish that he followed the yakkha's advice. He broke all the jars, without saving even a single cupful of water, and ordered the men to drive on quickly. Of course, they did not find any water, and they were soon exhausted from thirst. At sunset they drew their carts into a circle and tethered the oxen to the wheels, but there was no water for the weary animals. Without water, the men could not cook any rice either. They sank to the ground and fell asleep. As soon as night came, the yakkhas attacked, killing every single man and beast. The fiends devoured the flesh, leaving only the bones, and departed. Skeletons were strewn in every direction, but the five hundred carts stood with their loads untouched. Thus the heedless young merchant was the sole cause of the destruction of the entire caravan.
Allowing six weeks to pass after the foolish trader had left, the Bodhisatta set out with his five hundred carts. When he reached the edge of the wilderness, he filled his water jars. Then he assembled his men and announced, "Let not so much as a handful of water be used without my permission. Furthermore, there are poisonous plants in this wilderness. Do not eat any leaf, flower, or fruit which you have never eaten before, without showing it to me first." Having thus carefully warned his men, he led the caravan into the wilderness.
When they had reached the middle of the wilderness, the yakkha appeared on the path just as before. The merchant noticed his red eyes and fearless manner and suspected something strange. "I know there is no water in this desert," he said to himself. "Furthermore, this stranger casts no shadow. He must be a yakkha. He probably tricked the foolish merchant, but he doesn't realize how clever I am."
"Get out of here!" he shouted at the yakkha. "We are men of business. We do not throw away our water before we see where more is to come from!"
Without saying any more, the yakkha rode away.
As soon as the yakkhas had left, the merchant's men approached their leader and said, "Sir, those men were wearing lotuses and water lilies on their heads. Their clothes and hair were wringing wet. They told us that up ahead there is a thick forest where it is always raining. Let us throw away our water so that we can proceed quicker with lightened carts."
The merchant ordered a halt and summoned all his men. "Has any man among you ever heard before today," he asked, "that there was a lake or a pool in this wilderness?"
"No, sir," they answered. "It's known as the 'Waterless Desert.' "
"We have just been told by some strangers that it is raining in the forest just ahead. How far does a rain-wind carry?"
"A yojana, sir."
"Has any man here seen the top of even a single storm-cloud?"
"No, sir."
"How far off can you see a flash of lightning?"
"Four or five yojanas, sir."
"Has any man here seen a flash of lightning?"
"No, sir."
"How far off can a man hear a peal of thunder?"
"Two or three yojanas, sir."
"Has any man here heard a peal of thunder?"
"No, sir."
"Those were not men, but yakkhas," the wise merchant told his men. "They are hoping that we will throw away our water. Then, when we are weak and faint, they will return to devour us. Since the young merchant who went before us was not a man of good sense, most likely he was fooled by them. We may expect to find his carts standing just as they were first loaded. We will probably see them today. Press on with all possible speed, without throwing away a drop of water!"
Just as the merchant had predicted, his caravan soon came upon the five hundred carts with the skeletons of men and oxen strewn in every direction. He ordered his men to arrange his carts in a fortified circle, to take care of the oxen, and to prepare an early supper for themselves. After the animals and men had all safely bedded down, the merchant and his foremen, swords in hand, stood guard all through the night.
At daybreak the merchant replaced his own weak carts for stronger ones and exchanged his own common goods for the most costly of the abandoned merchandise. When he arrived at his destination, he was able to barter his stock of wares at two or three times their value. He returned to his own city without losing a single man out of all his company.
This story ended, the Buddha said, "Thus it was, laymen, that in times past, the foolish came to utter destruction, while those who clung to the truth escaped from the yakkhas' hands, reached their goal in safety, and returned to their homes again. "This clinging to the truth not only endows happiness even up to rebirth in the Realm of Brahma,[3] but also leads ultimately to Arahantship. Following untruth entails rebirth either in the four states of punishment or in the lowest conditions of mankind." After the Buddha had expounded the Four Truths, those five hundred disciples were established in the Fruit of the First Path.
The Buddha concluded his lesson by identifying the Birth as follows: "The foolish young merchant was Devadatta,[4] and his men were Devadatta's followers. The wise merchant's men were the followers of the Buddha, and I myself was that wise merchant."

Kamis, 23 September 2010

Apannaka Jataka (Jataka 1)

picture source: www.jathakakatha.org


APANNAKA JATAKA: MELINTASI PADANG GURUN (JATAKA 1)
Pada suatu hari, ketika Buddha Gotama sedang berdiam di Vihara Jetavana dekat kota Savatthi, seorang saudagar kaya raya, bernama Anathapindika datang menemuiNya untuk memberi hormat. Pelayan-pelayannya membawa banyak rangkaian bunga, wewangian, mentega, minyak, madu, sirup gula, pakaian dan jubah. Anathapindika kemudian bersujud kepada Buddha, mempersembahkan persembahan yang telah dibawanya, dan duduk dengan penuh hormat. Pada waktu itu, Anathapindika ditemani pula oleh lima ratus teman-temannya yang adalah pengikut guru-guru yang sesat. Teman-teman Anathapindika juga turut memberikan penghormatan pada Buddha dan kemudian duduk di dekat saudagar kaya tersebut. Wajah Buddha tampak seperti bulan purnama dan tubuhnya diliputi oleh cahaya aura. Duduk di atas batu merah, Buddha terlihat seperti seekor singa muda yang mengaum dengan suara yang jelas dan mulia, ketika Beliau memberikan mereka sebuah khotbah yang begitu indah dan manis untuk didengar.
Setelah mendengar ajaran Buddha, kelima ratus teman Anathapindika meninggalkan praktek keliru mereka dan mengambil perlindungan dalam Tiga Mustika: Buddha, Dhamma dan Sangha. Setelah itu, dengan konsisten mereka datang bersama Anathapindika untuk mempersembahkan bunga dan dupa dan untuk mendengarkan Dhamma. Mereka memberikan persembahan secara sukarela, menjalankan sila, dan dengan setia melaksanakan latihan di Hari Uposatha 1. Namun segera setelah Buddha meninggalkan kota Savatthi untuk kembali ke Rajagaha, orang-orang ini mulai meninggalkan keyakinan baru mereka dan kembali pada keyakinan lama mereka masing-masing.
Sekitar tujuh atau delapan bulan kemudian, Buddha kembali mengunjungi Jetavana. Dan lagi, Anathapindika membawa teman-temannya untuk mengunjungi Buddha. Mereka memberikan penghormatan mereka, tetapi Anathapindika kemudian menjelaskan bahwa mereka telah melupakan perlindungan mereka dan telah kembali pada praktek-praktek lama mereka.
Buddha Gotama kemudian bertanya, “Apakah benar bahwa kamu telah meninggalkan perlindungan dalam Tiga Mustika demi perlindungan dalam ajaran lain?” Suara Buddha begitu luar biasa jelas karena selama banyak (tak terhitung) kalpa Beliau telah menyatakan hanya kebenaran.
Ketika orang-orang ini mendengar pertanyaan tersebut, mereka tidak dapat menyangkal kebenaran. “Ya, Yang Mulia,” mereka mengakuinya. “Itu benar.”
“Murid-muridKu,” Buddha berkata, “tidak di antara neraka terendah maupun surga termulia, tidak ada di dalam dunia-dunia yang tidak terbatas yang membentang di kanan dan kiri, yang sebanding atau lebih unggul dari seorang Buddha. Sesungguhnya tidak terhitung manfaat dari menjalankan sila dan melakukan perbuatan bersahaja lainnya.”
Kemudian Beliau menyatakan kemuliaan Tiga Mustika. “Dengan mengambil perlindungan dalam Tiga Mustika,” Buddha berkata pada mereka, “seseorang akan terhindar dari kelahiran kembali dalam keadaan yang sengsara.” Buddha lebih jauh menjelaskan bahwa meditasi tentang Tiga Mustika akan membawa pada pencapaian empat tingkatan Pencerahan.
“Mencari perlindungan seperti ini,” Buddha menegur mereka, “kalian pastilah telah melakukan suatu hal yang keliru. Di masa lalu, juga, orang-orang yang salah mengambil perlindungan sebagai perlindungan sejati menemui bencana. Sebenarnya mereka menyembah para yakkha – roh jahat – di padang gurun dan mereka benar-benar hancur. Sebaliknya, orang-orang yang memegang kebenaran tidak saja bertahan, tetapi mereka berhasil mencapai kemakmuran di padang gurun yang sama itu.”
Anathapindika mengangkat tangannya, memuji Buddha, dan bertanya padaNya untuk berkenan menceritakan kisah masa lalu tersebut.
“Demi menghilangkan ketidakacuhan dunia dan demi mengalahkan penderitaan,” Buddha berkata, “Aku melatih Sepuluh Kesempurnaan selama berkalpa-kalpa lamanya. Dengarkanlah baik-baik dan Aku akan bercerita.”
Mendapatkan perhatian penuh dari mereka yang hadir waktu itu, Buddha dengan jelas, seolah-olah menyingkapkan bulan purnama dari balik awan, apa yang kelahiran kembali telah tutupi dari mereka.
Jauh di masa lampau, ketika Brahmadatta memerintah di Baranasi, Bodhisatta terlahir sebagai anak seorang pedagang dan tumbuh besar sebagai seorang pedagang yang bijaksana. Pada waktu yang sama pula, di kota yang sama, terdapat pula pedagang lain yang sangat bodoh, tanpa akal sehat sama sekali.
Pada suatu hari, kedua pedagang itu, masing-masing membawa lima ratus kereta penuh dengan barang-barang mahal dari Baranasi, bersiap pergi meninggalkan kota dengan arah yang sama dan waktu yang sama pula. Pedagang bijaksana tersebut berpikir, “Jika pedagang bodoh ini pergi bersama denganku dan jika seribu kereta kami jalan bersama, akan terlalu banyak untuk sebuah perjalanan. Mencari kayu dan air untuk orang-orang akan menjadi sulit dan tidak akan ada cukup rumput untuk lembu-lembu. Entah aku atau dia yang harus pergi terlebih dahulu.”
“Lihat,” dia berkata pada pedagang lainnya, “kita berdua tidak dapat pergi bersama. Apakah kamu atau aku yang pergi terlebih dahulu?”
Pedagang bodoh tersebut berpikir, “Akan ada banyak keuntungan bila aku pergi terlebih dahulu. Aku akan melewati jalan yang masih asri. Lembu-lembuku akan memiliki cukup rumput. Orang-orangku akan mendapatkan dedauanan yang terbaik untuk masakan kari. Air masih asli dan tidak terganggu. Terbaik dari semua itu, aku akan bisa mendapatkan harga terbaik untuk barang-barang daganganku.” Mempertimbangkan semua keuntungan itu, dia berkata, “Aku akan pergi terlebih dahulu, temanku.”
Bodhisatta senang mendengar hal itu karena ada banyak keuntungan apabila pergi sesudahnya. Dia beralasan, “Kereta-kereta yang pergi terlebih dahulu akan meratakan tanah yag tidak rata dan aku akan bisa melintasi jalan yang sudah rata tersebut. Lembu-lembu mereka akan memakan rumput-rumput tua dan lembu-lembuku akan memakan rumput-rumput muda manis yang baru tumbuh di sepanjang perjalanan itu. Orang-orangku akan menemukan dedaunan muda manis untuk kari karena yang tua sudah dipetik. Apabila di tempat yang tidak ada airnya, rombongan pertama akan harus menggali untuk persediaan mereka dan kami akan dapat minum dari sumur yang sudah mereka gali tersebut. Tawar-menawar harga adalah pekerjaan yang melelahkan: dia akan melakukan hal itu dan aku akan bisa melakukan penawaran berdasarkan harga yang sudah dipatoknya.”
“Sungguh bagus, temanku,” dia berkata, “silakan pergi terlebih dahulu.”
“Ya, aku akan pergi terlebih dahulu,” kata pedagang bodoh tersebut dan dia mempersiapkan keretanya dan pergi terlebih dahulu. Setelah beberapa lama dia pergi ke pinggiran hutan untuk mengisi kendi-kendi air besar miliknya sebelum pergi melintasi padang pasir sepanjang enam puluh yojana 2 yang terbentang di depannya.
Yakkha yang berdiam di padang gurun tersebut sudah mengamati rombongan tersebut. Ketika rombongan tersebut mencapai tengah padang gurun, dia menggunakan kekuatan magisnya untuk menciptakan sebuah kereta indah yang ditarik oleh lembu-lembu muda berwarna putih. Dengan iringan selusin yakkha sambil membawa pedang dan perisai, dia mengendara bersama keretanya selayaknya seorang dewa. Rambut dan pakaiannya basah dan dia memiliki untaian teratai biru dan bunga lili putih di kepalanya. Para pelayannya juga basah semua dan memiliki untaian bunga. Bahkan lembu-lembunya memiliki ladam dan roda-roda keretanya berlumpur.
Ketika angin dating dari arah depan, si pedagang melaju ke depan rombongan untuk menghindari debu yang terbang ke belakang rombongan. Yakkha kemudian menarik keretanya mendekati si pedagang dan mengucapkan salam dengan ramah. Si pedagang membalas salam dan menarik keretanya ke salah satu sisi sehingga memungkinkan kereta-keretanya melintas terlebih dahulu sedangkan dia dan yakkha dapat berbincang.
“Kami dalam perjalanan kami dari Baranasi,” jelas si pedagang. “Aku melihat semua orang-orangmu basah dan berlumpur dan kamu memiliki teratai dan lili di kepalamu. Apakah hujan turun sesaat ketika kamu melintasi jalan ini? Apakah kamu melewati kolam yang penuh dengan teratai dan bunga lili?”
“Apa yang kamu maksud?” tanya yakkha. “Di sebelah sana terdapat sebuah hutan yang lebat. Di dalamnya terdapat air yang berlimpah. Disana selalu hujan dan disana terdapat banyak danau-danau dengan bunga teratai dan lili.” Kemudian, berpura-pura tertarik dengan bisnis si pedagang, dia bertanya, “Apa yang kamu miliki di keretamu?”
“Barang-barang mahal,” jawab si pedagang.
“Apa yang ada di dalam kereta ini yang kelihatannya sangat berat?” tanya yakkha ketika kereta terakhir melintas.
“Kereta itu penuh berisi air.”
“Kamu sungguh bijaksana membawa air bersamamu sejauh ini tetapi itu tidaklah perlu sekarang ini karena air sungguh berlimpah ruah di depan sana. Kamu dapat melakukan perjalanan lebih cepat dan ringan tanpa kendi-kendi berat penuh air itu. Lebih baik kamu memecahkan kendi-kendi tersebut dan membuang air di dalamnya. Baiklah, selamat jalan,” dia berkata demikian sembari menarik keretanya sendiri menjauh. “Kami akan pergi ke tujuan kami sendiri. Kami sudah lama berhenti disini.” Dia pergi bersama pengikutnya dengan cepat. Segera setelah mereka pergi dari pandangan, dia berbalik dan pergi menuju kota tujuannya sendiri.
Si pedagang itu ternyata cukup bodoh untuk mengikuti saran yakkha itu. Dia memecahkan semua kendi air tanpa menyisakan satupun kendi berisi air dan memerintahkan orang-orangnya untuk melintas dengan cepat. Tentu saja mereka tidak menemukan air dimanapun dan mereka dengan segera merasakan kehausan. Ketika matahari mulai terbenam, mereka menarik kereta mereka membentuk posisi lingkaran dan menambatkan lembu-lembu mereka pada roda kereta, tetapi tidak ada air yang bisa diberikan untuk lembu-lembu tersebut. Tanpa air, orang-orang tidak dapat memasak nasi apapun. Mereka terjatuh kelelahan dan tertidur. Begitu malam tiba, para yakkha mulai dating menyerang, membunuh semua manusia dan hewan yang ada. Para iblis melahap daging dan menyisakan hanya tulang belulang saja, dan kemudian pergi. Tulang belulang berserakan di semua arah, tetapi lima ratus kereta masih berada disana tidak tersentuh. Demikianlah si pedagang muda bodoh tersebut menghancurkan sendiri rombongan dan pengikutnya.
Setelah enam minggu si pedagang bodoh tersebut pergi, Bodhisatta mulai bersiap dengan lima ratus keretanya. Ketika dia mencapai pinggir hutan rimba, dia pun mengisi kendi-kendi airnya. Kemudian dia mengumpulkan orang-orangnya dan berkata, “Jangan ada siapapun yang menyentuh kendi-kendi air ini tanpa seijinku. Dan juga, terdapat tanaman beracun di padang gurun ini. Jangan memakan daun apapun, bunga atau buah yang belum pernah kamu makan sebelumnya tanpa menunjukkannya padaku terlebih dahulu.” Setelah memperingatkan orang-orangnya, dia memimpin rombongannya menuju padang gurun.
Ketika mereka mencapai tengah padang pasir, yakkha muncul di jalan seperti sebelumnya. Si pedagang mengenali mata merah dan tingkah laku si yakkha yang tidak takut dan mencurigai ada sesuatu yang aneh. “Aku tahu tidak ada air di padang pasir ini,” dia berkata pada dirinya sendiri. “Apalagi orang asing ini tidak memiliki bayangan. Dia pastilah yakkha. Dia mungkin telah menipu si pedagang bodoh, tetapi dia tidak tahu seberapa cerdik diriku.”
“Pergi dari sini!” dia berteriak pada yakkha. “Kami adalah para pedagang. Kami tidak akan menyia-nyiakan air sebelum kami melihat ada air di depan kami!”
Tanpa berkata apapun, yakkha itu pergi menyingkir.
Segera setelah para yakkha itu pergi, pengikut si pedagang itu mendekati pemimpinnya dan berkata, “Tuan, orang tadi mengenakan teratai dan lili di atas kepala mereka. Pakaian dan rambut mereka basah. Mereka mengatakan pada kami bahwa di sebelah sana terdapat hutan lebat yang senantiasa turun hujan. Marilah kita membuang air kita sehingga kita dapat pergi lebih cepat dengan kereta-kereta yang lebih ringan.”
Si pedagang kemudian memerintahkan berhenti sejenak dan mengumpulkan semua orang-orangnya.
“Apakah diantara kalian ada yang pernah mendengar sebelumnya,” dia bertanya, “bahwa disana ada sebuah danau atau kolam di padang gurun ini?”
“Tidak, tuanku,” mereka menjawab. “Padang pasir ini dikenal sebagai ‘Gurun Tanpa Mata Air.’”
“Kita baru saja diberitahukan oleh beberapa orang asing bahwa di hutan di depan sana sedang hujan. Seberapa jauh awan hujan dibawa angin?”
“Satu yojana, tuan.”
“Apakah ada diantara kalian yang melihat di atas satu pun awan hujan?”
“Tidak, tuanku.”
“Seberapa jauh kita dapat melihat kilat petir?”
“Empat atau lima yojana, tuan.”
“Apakah ada diantara kalian disini yang melihat kilat petir?”
“Tidak, tuanku.”
“Seberapa jauh seorang manusia dapat mendengar suara gemuruh petir?”
“Dua atau tiga yojana, tuanku.”
“Apakah diantara kalian disini yang mendengar suara gemuruh petir?”
“Tidak, tuanku.”
“Mereka (tadi) bukanlah manusia, melainkan para yakkha,” si pedagang bijak tadi berkata pada orang-orangnya. “Mereka berharap kita akan membuang air kita. Kemudian ketika kita lemah dan tidak berdaya, mereka akan kembali untuk memakan kita. Karena pedagang muda yang pergi mendahului kita bukanlah orang dengan akal sehat, kemungkinan besar dia telah ditipu oleh yakkha-yakkha itu. Kita mungkin saja akan menemukan kereta-kereta mereka utuh dengan barang-barang bawaannya. Kita mungkin saja akan melihat mereka hari ini. Mari kita segera pergi secepat yang kita bisa, tanpa membuang setetes air pun!”
Seperti yang sudah diperkirakan si pedagang tadi, rombongannya segera menemukan lima ratus kereta bersama dengan tulang belulang manusia dan hewan yang berserakan di semua arah. Dia menyuruh orang-orangnya untuk membentuk kereta-keretanya dalam posisi lingkaran, merawat lembu-lembu, dan menyiapkan makan malam bagi mereka semua. Setelah semua hewan dan manusia tidur dengan aman, si pedagang dan orang-orang andalannya, dengan pedang di tangan, berjaga sepanjang malam.
Ketika hari menjelang pagi, si pedagang mengganti kereta jeleknya dengan kereta yang lebih kokoh dan menukar barang-barang dagangan biasanya dengan barang-barang dagangan yang lebih berharga dari kereta-kereta yang telah ditinggalkan tersebut. Pada saat dia tiba di kota tujuannya, dia mampu menukar barang-barang dagangannya dengan tiga sampai empat kali lipat harga awalnya. Dia pun kembali ke kota asalnya tanpa kehilangan satu orang pun pengikutnya.
Cerita ini pun berakhir, Buddha berkata, “Demikianlah, perumah tangga, bahwa di suatu waktu di masa lampau, si bodoh datang membawa bencana, sedangkan mereka yang memegang kebenaran akan terhindar dari yakkha-yakkha, mencapai tujuan mereka dengan selamat, dan dapat kembali ke rumah mereka.”
“Berpegang pada kebenaran tidak saja membawa kebahagiaan hingga kelahiran kembali di alam Brahma 3, tetapi juga membawa pada pencapaian tingkat kesucian Arahat. Mengikuti ketidakbenaran berujung pada kelahiran kembali entah di empat alam sengsara, atau di dunia manusia dengan keadaan yang tidak menguntungkan.” Setelah Buddha menyatakan Empat Kebenaran Mulia, kelima ratus siswa tadi berhasil mencapai buah Pemasuk Arus.
Buddha Gotama kemudian mengakhiri khotbahNya dengan menjelaskan identitas Kelahiran sebagai berikut: “Si pedagang bodoh tersebut adalah Devadatta 4, dan orang-orangnya adalah para pengikut Devadatta. Orang-orang pedagang bijak adalah pengikut Buddha, dan Aku sendiri adalah pedagang bijaksana tersebut.”
Catatan:
1. Uposatha adalah hari dimana bulan penuh, bulan baru, atau bulan setengah penuh, dimana umat Buddha sering menjalankan delapan sila.
2. Yojana: satuan jarak, sekitar tujuh mil.
3. Alam Brahma merujuk pada surga yang paling tinggi, dimana makhluk-makhluknya memancarkan cahaya berkah.
4. Devadatta adalah sepupu Buddha. Dia mencoba untuk membunuh Buddha beberapa kali tetapi selalu gagal.

http://jatakakatha.wordpress.com/category/kisah-jataka/

Sukhavihari-jathaka (Jataka 10 )




“Dia yang tidak menjaga apapun.” – Kisah ini diceritakan oleh Guru kita saat berdiam di kebun Mangga Anūpiya dekat kota Anūpiya, mengenai Sesepuh Bhaddiya (Yang Berbahagia), yang bergabung masuk Persaudaraan bersama dengan enam bangsawan dan Upali. Dari keenamnya, Sesepuh Bhaddiya, Kimbila, Bhagu dan Upali mencapai tingkat kesucian Arahat; Sesepuh Ananda mencapai tingkat kesucian Pertama; sedangkan Sesepuh Anuruddha memperoleh kemampuan mata dewa (mampu melihat segala sesuatu); dan Devadatta memperoleh kemampuan abstraksi diri. Kisah mengenai enam bangsawan ini terjadi di Anūpiya, dan akan berkaitan dengan Khaṇḍahāla-jātaka.

Yang Mulia Bhaddiya, yang dulunya terbiasa dijaga ketat oleh para penjaganya bahkan penjagaan tersebut dilakukan hingga dia berada di dalam kediamannya sendiri di istana, memikirkan rasa takut yang dulu ada sehingga dia memiliki penjaga tak terhitung jumlahnya; dan sekarang pada saat beliau telah mencapai tingkat kesucian tertinggi, membandingkan rasa takutnya yang dulu sekarang telah lenyap sama sekali, walaupun beliau berada di hutan pedalaman maupun padang pasir yang luas. Dan dia pun mengucapkan – “Oh, betapa bahagianya! Betapa bahagianya!”

Ungkapan Sesepuh Bhaddiya ini kemudian dilaporkan kepada Sang Bhagava, seperti demikian, “Yang Mulia Bhaddiya sedang menyatakan berkah Kemenangan.”
“Saudara-saudara,” jawab Sang Bhagava, “ini bukanlah pertama kalinya kehidupan Bhaddiya begitu bahagia, bahkan kehidupannya di masa lampau tak kalah bahagia.”
Persaudaraan kemudian meminta Sang Bhagava untuk menjelaskan hal ini. Sang Bhagava menjelaskan apa yang telah ditutup oleh kelahiran kembali.

Pada suatu masa, ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, Bodhisatta lahir dalam keluarga brahmana yang kaya raya. Menyadari kejahatan yang timbul dari nafsu dan berkah yang diperoleh dari meninggalkan kehidupan duniawi, dia menjauhi segala bentuk nafsu dan pergi ke Himalaya untuk menjadi seorang pertapa pengembara dan akhirnya berhasil memenangkan Delapan Berkah. Pengikutnya terus bertambah hingga akhirnya berjumlah lima ratus pertapa. Pada saat musim hujan telah tiba, ia bersama-sama dengan pertapa pengikutnya turun dari Himalaya melalui desa-desa hingga akhirnya tiba ke kota Benares. Disanalah ia berdiam di salah satu istana kerajaan atas kemurahan hati raja. Setelah berdiam disana selama empat bulan musim penghujan, dia menemui raja untuk berpamitan. Tetapi sang raja berkata kepadanya, “Anda sudah tua, Yang Mulia. Mengapa Anda harus kembali ke Himalaya? Kirimkanlah murid-muridmu kembali ke Himalaya dan Anda sendiri tetap tinggal disini.”
Bodhisatta kemudian mempercayakan kelima ratus pertapa pengikutnya kepada murid tertuanya, berkata, “Pergilah kalian ke Himalaya, Aku akan menetap disini.”
Sebelum menjadi seorang pertapa, murid tertuanya adalah seorang raja yang meninggalkan sebuah kerajaan besar untuk memasuki persaudaraan. Dan dengan daya upaya yang tekun ketika berdiam di Himalaya, akhirnya dia juga berhasil mencapai Delapan Berkah. Pada suatu hari timbul keinginannya untuk bertemu dengan gurunya dan dia pun berkata pada pertapa pengikutnya, “Hiduplah dengan kesederhanaan disini, Aku akan kembali secepatnya setelah Aku memberikan hormat kepada guru kita.” Maka kemudian dia pun pergi menemui guru dan menyampaikan hormatnya kepada beliau. Kemudian dia pun duduk di salah satu sisi gurunya di atas sebuah tikar yang telah digelar.

Pada saat itu datanglah raja, yang setelah memberikan hormat pada guru pertapa kemudian duduk di salah satu sisinya. Namun walaupun menyadari kedatangan raja, murid tertua guru pertapa tidak berdiri dan memberikan salam, melainkan berkata dengan penuh keharuan, “Oh betapa bahagianya! Betapa bahagianya!”
Tidak menyukai sikap murid pertapa itu yang walaupun menyadari kedatangannya, tidak berdiri dan member salam, sang raja berkata kepada Bodhisatta, “Yang Mulia, murid Anda ini pastilah kekenyangan makan, melihat dia tetap duduk disana dengan begitu bahagia, menyatakan rasa bahagianya.”
“Tuanku,” ucap Bodhisatta, “pertapa ini sebelumnya juga adalah seorang raja, sama seperti anda. Dia sedang mengenang hari-hari yang lalu ketika dia masih sebagai umat awam dan tinggal di istana bersama-sama dengan banyak pengawal yang menjaganya. Dia tidak pernah mencicipi kebahagiaan sebagaimana ia sekarang. Yakni kebahagiaan kehidupan seorang pertapa dan kebahagiaan yang dimunculkan dari Wawasan ke dalam. Inilah yang membuatnya mengutarakan ungkapan kebahagiaan tersebut.” Dan Bodhisatta lebih lanjut menyatakan syair ini untuk mengajarkan kebenaran pada sang raja:
Dia yang tidak menjaga apapun, atau dijaga oleh siapapun,
Hidup berbahagia, terbebas dari perbudakan dan hawa nafsu.

Mendengar pelajaran ini, raja menyampaikan rasa hormatnya dan kembali ke istana. Sedangkan murid tertua pertapa tersebut juga meminta pamit pada gurunya dan kembali ke Himalaya. Tetapi Bodhisatta tetap berdiam disana dan dengan Wawasan ke dalam yang tak tergoyahkan, lahir kembali ke Alam Brahma.
PelajaranNya berakhir dan dari kedua cerita di atas, Buddha menghubungkan keduanya dan mengidentifikasikan kelahiran dengan mengatakan, — “Sesepuh Bhaddiya adalah murid guru pertapa itu, dan Aku sendiri adalah guru pertapa tersebut.”

Sukhavihari-jathaka (Jataka 10 )



Once on a time when Brahmadatta was reigning in Benares, the Bodhisatta was born a wealthy northern brahmin. Realising the evil of lusts and the blessings that flow from renouncing the world, he abjured lusts, and retiring to the Himalayas there became a hermit and won the eight Endowments. His following waxed great, amounting to five hundred ascetics. Once when the rains set in, he quitted the Himalayas and traveling along on an alms-pilgrimage with his attendant ascetics through village and town came at last to Benares, where he took up his abode in the royal pleasaunce as the pensioner of the king’s bounty. After dwelling here for the four rainy months, he came to the king to take his leave. But the king said to him, “You are old, reverend sir. Wherefore should you go back to the Himalayas? Send your pupils back thither and stop here yourself.”

The Bodhisatta entrusted his five hundred ascetics to the care of his oldest disciples, saying, “Go you with these to the Himalayas; I will stop on here.

Now that oldest disciple had once been a king, but had given up a mighty kingdom to become a Brother; by the due performance of the rites appertaining to concentrated thought he had mastered the eight Endowments. As he dwelt with the ascetics in the Himalayas, one day a longing came upon him to see the master, and he said to his fellows, “Live on contentedly here; I will come back as soon as I have paid my respects to the master.” So away he went to the master, paid his respects to him, and greeted him lovingly. Then he lay down by the side of his master on a mat which he spread there.

At this point appeared the king, who had come to the pleasaunce to see the ascetic; and with a salutation he took his seat on one side. But though he was aware of the king’s presence, that oldest disciple forbore to rice, but still lay there, crying with passionate earnestness, “Oh, happiness!  Oh, happiness!”

Displeased that the ascetic, though he had seen him, not risen, the king said to the Bodhisatta, “Reverend sir, this ascetic must have had his fill to eat, seeing that he continues to lie there so happily, exclaiming with such earnestness.”

“Sire,” said the Bodhisatta, “of old this ascetic was a king as you are. He is thinking how in the old days when he was layman and lived in regal pomp with many a man-at-arms to guard him, he never knew such happiness as now is his. It is the happiness of the Brother’s life, and the happiness that Insight brings, which move him to this heartfelt utterance.”
Appeased by the lesson thus taught him, the king made his salutation and returned to his palace. The disciple also took his leave of his master and returned to the Himalayas. But the Bodhisatta continued to dwell on there, and, dying with Insight full and unbroken, was re-born in the Realm of Brahma.