Mau dapat uang silakan klik link ini

Selasa, 28 September 2010

Devadhamma Jataka Pangeran Ahimsasa dan peri air (Jataka 6)

Sumber: http://www.buddhabihar.com/jataka_story_6.html
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
6 devadhamma jataka
Picture source: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=130:06-devadhamma-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
***
“Mereka hanya disebut ‘mirip dewa’.” – Kisah ini diceritakan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana mengenai seorang bhikkhu yang kaya raya.
Tradisi mengatakan kepada kita semua bahwa pada kematian istrinya, seorang pengawal dari Sāvatthi bergabung dengan Persaudaraan Sangha. Ketika dia bergabung, dia harus membuat sebuah gubuk tinggal untuk dirinya sendiri, sebuah ruangan untuk perapian, dan ruang penyimpanan, dan sebelum ia mengisi ruang penyimpanannya dengan ghee, beras, dan sejenisnya, dia akhirnya bergabung menjadi seorang bhikkhu. Bahkan setelah ia menjadi seorang bhikkhu, ia meminta pelayan-pelayannya memasak makanan yang dia sukai. Dia disediakan dalam segala hal, – mengganti pakaiannya untuk malam dan satu lagi untuk pagi hari, dan ia pun tinggal sendiri di pinggiran wihara.
Suatu hari ketika ia membawa keluar kain dan selimut dan setelah menjemurnya, sejumlah bhikkhu dari kerajaan lain, yang berziarah dari wihara ke wihara, datang dalam perjalanan mereka ke gubuknya dan menemukan semua barang ini.
“Milik siapakah ini?” mereka bertanya. “Milik saya, Yang Mulia,” jawabnya. “Apa, Yang Mulia?” mereka berseru; “atas kain ini dan itu juga; kain di bawah ini serta itu; dan bahwa selimut ini juga, semua adalah milikmu?” “Ya, semuanya milikku.” “Yang Mulia,” kata mereka, “Sang Bhagava hanya memiliki tiga kain dan, meskipun Sang Buddha, yang ajaranNya telah Anda mengabdikan diri, adalah sangat sederhana dalam keinginan, Anda telah mengumpulkan semua stok keperluan ini. Ayo! Kita harus membawa Anda ke hadapan Guru Yang Maha Bijaksana.” Dan, begitu mengatakan hal tersebut, mereka pergi bersamanya ke Sang Bhagava.
Menyadari kehadiran mereka, Buddha berkata, “Ada apa Saudara-saudara, sehingga Anda telah membawa Saudara ini secara paksa?” “Yang Mulia, saudara ini adalah bhikkhu kaya dan memiliki cukup persediaan keperluan.” “Apakah benar, Saudara, sebagaimana yang mereka katakan, bahwa kamu memiliki begitu banyak barang?” “Ya, Bhagava.” “Tetapi mengapa, Saudara, mengapa Anda mengumpulkan barang-barang ini? Bukankah Aku telah mengatakan kebajikan dari memiliki sedikit keinginan, memiliki rasa puas, dan sebagainya, kesendirian, dan keteguhan hati?”
Marah oleh kata-kata Guru, ia berseru, – “Lalu aku akan pergi seperti ini!” Dan, sambil melepas pakaian luar, ia berdiri di tengah-tengah mereka hanya mengenakan kain pinggangnya.
Kemudian, sebagai dukungan moral untuk dia, Sang Guru berkata, “Bukankah Engkau, Saudaraku, yang pada hari-hari dahulu adalah seorang pencari rasa malu akan ketakutan untuk berbuat dosa, dan bahkan ketika Anda terlahir sebagai setan air dan hidup selama dua belas tahun masih tetap mencari rasa malu itu? Bagaimana kemudian Anda bisa, setelah bersumpah untuk mengikuti ajaran berat Buddha, Anda melempar jubah luar dan berdiri di sini tanpa rasa malu?”
Mendengar kata-kata Sang Guru, rasa malu kembali menghampirinya, ia mengenakan jubahnya lagi, dan memberi hormat kepada Guru, kemudian duduk di sampingNya.
Para sesepuh kemudian meminta Sang Bhagava untuk menjelaskan kepada mereka hal yang telah Beliau sebutkan tadi. Sang Bhagava menjelaskan apa yang telah tersembunyi dari mereka oleh kelahiran kembali.
Pada suatu hari, ketika Brahmadatta memerintah di Benares di Kasi. Bodhisatta pada masa itu terlahir sebagai putra raja oleh pemaisuri, dan dia diberi nama Pangeran Mahiṃsāsa. Pada saat ia mulai bisa berlari, putra kedua raja lahir, dan mereka memberi nama anak ini dengan sebutan Pangeran Bulan, tetapi pada saat ia bisa berlari seperti itu, ibu Bodhisatta meninggal. Lalu raja mengangkat ratu lain, yang adalah pelipur lara dan penghibur bagi raja, dan cinta mereka dihadiahi dengan kelahiran pangeran lain, yang mereka berinama Pangeran Matahari. Dalam sukacita pada saat kelahiran anaknya itu, raja berjanji untuk mengabulkan apa pun permintaan ratu barunya kepadanya atas nama anak yang baru lahir tersebut. Tetapi ratu meminta agar janji itu ditunda dan dipenuhi pada waktu yang tepat. Kemudian, ketika anaknya telah tumbuh dewasa, ia berkata kepada raja, “Yang Mulia, ketika anak saya lahir, engkau memberiku berkah untuk meminta apapun kepadamu. Biarkanlah anakku menjadi raja.”
“Tidak,” kata raja; “dua anak laki-lakiku, berseri-seri seperti panah-panah api; Aku tidak dapat memberikan kerajaan kepada anakmu.” Tetapi ketika ia melihat bahwa, tidak gentar dengan penolakan ini, sang ratu terus mengusiknya dari waktu ke waktu, untuk mengabulkan permintaannya. Raja, takut kalau-kalau wanita tersevut melakukan persengkokolan jahat terhadap anak-anaknya, mengutus mereka dan berkata, “Anak-anakku, ketika Pangeran Matahari lahir, aku memberinya anugerah, dan sekarang ibunya menginginkan kerajaan ini untuk putranya. Aku tidak ingin memberinya kerajaan, tetapi wanita secara alami jahat, dan ia akan berencana jahat terhadap kalian. Kalian lebih baik pergi sementara ke hutan, dan kembali lagi pada saat kematian saya untuk memerintah kerajaan ini yang memang adalah hak kalian.” Mengatakan itu, dengan air mata dan ratapan, raja mencium kedua putranya di kepala dan mengutus mereka pergi.
Ketika kedua pangeran itu pergi meninggalkan istana setelah berpamitan pada ayahnya, seseorang melihat mereka dan orang itu tak lain adalah Pangeran Matahari sendiri, yang sedang bermain di halaman. Dan tak lama kemudian dia menyadari apa yang terjadi dan dia pun memutuskan untuk pergi dengan saudara-saudaranya. Jadi ia juga pergi bersama kedua saudaranya.
Ketiga pangeran itu tiba di wilayah Himalaya; dan di sini Bodhisatta, yang telah berpaling dari jalan dan sedang duduk di kaki pohon, berkata kepada Pangeran Matahari, “Larilah ke kolam sana, Matahari sayang; minum dan mandilah di sana, dan kemudian bawakanlah kami sedikit air di daun teratai.” (Sekarang kolam itu telah diserahkan kepada setan air oleh Vessavaṇa, yang berkata kepadanya, “Dengan pengecualian siapapun yang tahu jawaban apa yang benar-benar ‘seperti dewa’, semua yang turun ke dalam kolam ini adalah milikmu untuk dilahap. Sedangkan orang-orang yang tidak masuk air, maka kamu tidak memiliki kekuasaan untuk melahap mereka.” Dan sejak itu setan air bertanya kepada semua orang yang turun ke dalam kolam apa yang benar-benar seperti dewa, dan melahap semua orang yang tidak tahu jawabannya.)
Sekarang Pangeran Matahari telah turun ke dalam kolam, cukup ceroboh sehingga ia ditangkap oleh setan air, yang bertanya kepadanya, “Apakah Anda tahu apa yang benar-benar seperti dewa?” “O ya,” katanya; “matahari dan bulan.” “Kau tidak tahu,” kata si setan air dan ia pun menyeret sang pangeran ke dasar kolam, dipenjarakan di sana di kediamannya sendiri. Menemukan bahwa adiknya sudah lama pergi dan belum kembali, Bodhisatta mengutus Pangeran Bulan. Namun ia juga ditahan oleh setan air dan bertanya apakah dia tahu apa yang benar-benar serupa dewa. “Oh ya, aku tahu,” katanya; “Empat Kuartal Surga.” “Kau tidak tahu,” kata si setan air ketika ia menangkap korban kedua ini ke penjara yang sama.
Menemukan bahwa saudara keduanya juga pergi terlalu lama, Bodhisatta merasa yakin bahwa sesuatu telah terjadi pada mereka. Jadi ia pergi dan melacak jejak mereka turun ke dalam air. Segera menyadari bahwa kolam itu adalah wilayah kekuasaan setan air, ia menyandangkan pedangnya dan mengambil busur di tangannya, dan menunggu. Sekarang ketika iblis itu menyadari bahwa Bodhisatta tidak berniat memasuki air, ia menjelma menjadi seorang penghuni hutan, dan dalam penyamaran ini dia bertanya pada Bodhisatta demikian: “Kamu lelah dengan perjalanan Anda, mengapa kamu tidak pergi ke dalam kolam, mandi dan minum, dan membaringkan diri Anda sejenak di atas teratai-teratai? Anda akan bepergian dengan nyaman sesudahnya.” Menyadari pada saat itu juga bahwa dia adalah setan, Bodhisatta berkata, “Jadi kamulah yang telah menyita saudara-saudaraku.” “Ya, benar,” jawabnya. “Mengapa?” Karena semua orang yang turun ke kolam ini milik saya.” “Apa, semua orang?” “Tidak, hanya orang-orang yang tahu jawaban apa yang benar-benar serupa dewa adalah yang selamat, sedangkan yang tidak mengetahui jawabannya adalah milikku.” “Dan apakah Anda ingin tahu apa yang seperti dewa itu?” “Iya.” “Jika begitu, aku akan memberi tahu Anda apa yang benar-benar seperti dewa.” “Jawablah, dan aku akan mendengarkan.”
“Saya ingin menjawabnya,” kata Bodhisatta, “tetapi aku ternoda selama perjalanan-perjalanan saya.” Kemudian setan air itu memandikan Bodhisatta, dan memberinya makanan untuk dimakan dan air untuk diminum, menghiasnya dengan bunga-bunga, menaburinya dengan aroma wewangian, dan meletakkan alas teratai untuknya. Duduk sendiri di alas ini, dan membuat setan air duduk di kakinya, si Bodhisatta berkata, “Dengar ini dan Anda akan mendengar jawaban apa yang benar-benar seperti dewa.” Dan ia mengucapkan bait ini: –
Mereka yang disebut ‘serupa dewa’ adalah mereka yang mengurangi dosa,
Pertapa berjiwa putih yang tenang dan penuh nilai kebajikan.
Dan ketika setan mendengar ini, ia merasa senang, dan berkata kepada Bodhisatta, “Manusia bijaksana, saya senang dengan Anda, dan saya akan mengembalikan Anda satu dari dua saudara Anda. Mana yang akan saya bawakan?” “Yang termuda.” “Manusia bijaksana, meskipun Anda tahu dengan baik apa yang benar-benar seperti dewa, Anda tidak bertindak berdasarkan pengetahuan Anda.” “Kenapa begitu?” “Mengapa Anda memilih yang lebih muda dan tidak yang lebih tua, tanpa memperhatikan senioritas-nya.” “Wahai setan, saya tidak hanya tahu, tapi juga mempraktekkan pengetahuan saya. Oleh karena anak itulah kami mencari perlindungan di hutan; demi dirinyalah maka ibunya meminta kerajaan pada ayah kami, dan ayah kami, menolak untuk memenuhi permintaan ibunya, setuju untuk mengutus kami mencari perlindungan di dalam hutan. Bersama kami anak ini datang, dan dia juga tidak pernah berpikir untuk kembali lagi. Tidak seorang pun akan percaya padaku jika aku harus memberi tahu bahwa dia telah dimakan oleh setan di hutan, dan ketakutan dari aib itulah yang mendorong saya untuk memilih dia.”
“Bagus! Bagus! Hai manusia bijaksana,” teriak setan menyetujuinya; “Anda tidak hanya tahu, tapi mempraktekkan pengetahuan bijaksana Anda.” Dan sebagai tanda kegembiraannya, ia pun mengembalikan kedua saudara kepada Bodhisatta.
Lalu kata terakhirnya pada setan air, “Teman, ini sebagai konsekuensi dari perbuatan jahat Anda sendiri di masa lalu sehingga sekarang anda terlahir sebagai setan yang hidup dari daging dan darah makhluk hidup lain, dan dalam kelahiran sekarang ini juga Anda terus melakukan kejahatan. Perilaku jahat ini akan selama-lamanya menyebabkan Anda terlahir di alam neraka dan alam-alam jahat lainnya. Oleh karena itu, mulai saat ini tinggalkanlah perbuatan jahat dan hiduplah dengan kebaikan. “
Setelah membuat setan tersebut sadar, Bodhisatta dan saudara-saudaranya tetap tinggal di tempat itu di bawah perlindungan setan itu, sampai pada suatu hari ia membaca bintang-bintang dan mengetahui bahwa ayahnya telah meninggal. Kemudian dengan turut membawa setan air itu, ia kembali ke Benares dan menguasai kerajaan, mengangkat Pangeran Bulan sebagai raja muda dan Pangeran Matahari sebagai jenderal. Untuk setan air ia membuatkan sebuah rumah di tempat yang nyaman dan memastikan kediaman setan air tersedia karangan bunga terpilih, wewangian, dan makanan. Dia sendiri memerintah dalam kebenaran sampai dia meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan jasa-jasa perbuatan baiknya.
Pelajarannya berakhir, Sang Buddha mengajarkan Kebenaran, pada akhir khotbahNya bhikkhu tersebut memenangkan Buah Pemasuk Arus Pertama. Dan Yang Maha mengetahui Buddha, setelah menceritakan kisah tersebut menghubungkan keduanya, dan mengidentifikasi Kelahiran, dengan mengatakan, “Bhikkhu yang telah memasuki arus pemenang adalah setan air; Ananda adalah Pangeran Matahari , Sariputta adalah Pangeran Bulan, dan aku sendiri adalah anak laki-laki tertua, Pangeran Mahiṃsāsa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar