Jataka 003
picture source: www.jathakakatha.org
Sering kali kita mendengar atau membaca kisah mengenai Devadatta yang membenci Buddha Gotama, bahkan hendak membunuh Buddha – Gurunya sendiri. Mengapa hal ini bisa sampai terjadi di dalam komunitas buddhis awal dan terlebih di masa kehidupan Buddha sendiri? Perihal apa yang menyebabkan Devadatta menaruh kebencian yang begitu mendalam pada Buddha? Jawabannya terdapat dalam kisah Jataka ketiga, berjudul “Pedagang dari Seriva”. Kisah ini menitikberatkan pada bahaya kebencian (dosa) yang muncul dari keserakahan (lobha). Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Serivanija Jataka : Pedagang Dari Seriva
Sumber: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=133:03-serivanija-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
Pada suatu ketika di Kerajaan Seri, sekitar lima kalpa yang lampau, Bodhisatta berkutat dengan gerabah dan peralatan dapur, dan dia dipanggil dengan sebutan ‘pedagang dari Seriva’. Pedagang lain yang juga menjual barang-barang yang sama adalah seseorang yang serakah dan dipanggil pula dengan sebutan yang sama yakni ‘pedagang dari Seriva’. Mereka datang melintasi sungai Telavaha dan memasuki kota Andhapura. Dengan membagi secara adil jalan-jalan yang mereka lalui, seorang pedagang mulai menjajakan barang dagangannya di wilayahnya sendiri, dan demikian pula dengan pedagang yang lain.
Di kota tersebut terdapat pula sebuah keluarga yang miskin. Sebelumnya mereka adalah keluarga pedagang yang kaya raya, tetapi pada saat cerita ini dikisahkan mereka telah kehilangan semua anak dan saudara laki-laki dan demikian pula dengan semua kekayaan mereka. Satu-satunya yang bertahan hidup adalah seorang gadis dan neneknya. Mereka bertahan hidup dengan bekerja. Walaupun sekarang hidup dalam kemiskinan, mereka memiliki sebuah mangkuk emas di rumah mereka yang digunakan oleh kepala keluarga untuk makan, tetapi mangkuk tersebut telah ditempatkan di antara panci dan wajan, dan karena telah lama tidak digunakan, mangkuk itu pun tertutup oleh tanah dan kotoran sehingga kedua wanita itu tidak mengetahui bahwa mangkuk tersebut terbuat dari emas. Di depan pintu rumah mereka terdengar teriakan si pedagang serakah, “Jual gerabah! Jual gerabah!” Dan si gadis, ketika mengetahui ada si pedagang serakah di sana, berkata kepada neneknya, “Oh nenek, belikanlah aku sebuah gerabah.”
“Kita sangat miskin sayangku, apa yang dapat kita tawarkan sebagai penggantinya?”
“Mengapa tidak menggunakan mangkuk yang tidak berguna bagi kita ini saja. Ayo kita tukarkan dengan mangkuk ini.”
Wanita tua itu kemudian mengajak si pedagang masuk ke rumah dan duduk dan memberikan mangkuk tersebut sambil berkata, “Ambillah ini tuan, dan berikanlah sesuatu yang pantas kepada saudara perempuanmu ini sebagai gantinya.”
Si pedagang mengambil mangkuk tersebut ditangannya, membalikkannya dan mencurigai bahwa mangkuk itu sebenarnya adalah emas. Dia menggoreskan sebuah garis di bagian belakang mangkuk itu dengan sebuah jarum dan dia pun yakin bahwa mangkuk itu benar-benar terbuat dari emas. Kemudian berpikir bahwa dia dapat memiliki mangkuk tersebut tanpa memberikan sesuatu pun kepada si wanita tua, dia berteriak, “Apa nilainya mangkuk ini? Mangkuk ini bahkan tidak seharga setengah koin!” Dan seketika itu juga dia melemparkan mangkuk itu ke tanah, bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan rumah keluarga miskin itu. Sekarang, seperti yang telah disepakati sebelumnya antara kedua pedagang dari Seriva bahwa seseorang boleh berdagang di jalan yang sama seperti jalan yang telah dilalui pedagang lainnya, Bodhisatta pun melalui jalan yang sama dan muncul di depan rumah keluarga miskin tersebut, berteriak, “Jual gerabah!!” Sekali lagi si gadis meminta hal yang sama kepada neneknya dan si wanita tua itu pun membalas, “Sayangku, pedagang pertama tadi melemparkan mangkuk kita ke tanah dan pergi meninggalkan rumah. Apa lagi yang bisa kita tawarkan sekarang?”
“Oh, tetapi pedagang tadi adalah orang yang bermulut kasar, nenekku sayang; sebaliknya pedagang ini kelihatannya orang yang baik hati dan bertutur kata halus. Sangat besar kemungkinan dia bersedia mengambil mangkuk ini.”
“Kalau begitu panggillah dia masuk.”
Maka si pedagang itu pun masuk ke dalam rumah dan mereka memberikan sebuah tempat duduk dan memberikan mangkuk ke tangan si pedagang. Melihat bahwa mangkuk itu terbuat dari emas, dia berkata, “Ibu, mangkuk ini senilai dengan seratus ribu keping; saya tidak mempunyai uang sebanyak itu.” “Tuan, pedagang pertama yang datang kemari berkata bahwa mangkuk ini tidak senilai dengan setengah koin, jadi dia pun melemparnya ke tanah dan pergi. Ini pastilah berkah dari kebaikanmu yang mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah dan berikanlah kami sesuatu sebagai gantinya dan pergilah.” Pada waktu itu Bodhisatta memiliki 500 keping uang dan persediaan barang yang jauh lebih besar harganya. Semuanya diberikan kepada keluarga miskin tersebut sambil berkata, “Kalau begitu sisakan saja tas dan timbanganku, serta delapan keping uang untukku.”Dan dengan persetujuan mereka dia pun menyimpan sisa barang dan uang tadi, dan pergi menuju ke sisi sungai dimana dia memberikan delapan keping uangnya kepada tukang perahu dan pergi menyeberang sungai.
Setelah beberapa saat, si pedagang serakah kembali ke rumah itu dan bertanya apakah mereka akan memberikan mangkuk mereka sambil berkata akan memberikan mereka sesuatu sebagai gantinya. Tetapi si wanita tua mengusirnya dengan kata-kata berikut ini, “Kamu yang berkata bahwa mangkuk emas kami yang berharga seratus ribu keping bahkan tidak senilai dengan setengah koin. Tetapi tadi telah datang seorang pedagang jujur yang memberikan kami seribu keping sebagai gantinya dan dia telah mengambil mangkuk itu pergi.”
Kemudian si pedagang serakah itu berseru, “Dia telah merampok mangkuk emas seharga seratus ribu keping yang seharusnya milikku; dia telah membuatku rugi banyak.” Dan kepedihan mendalam datang menyelimutinya sehingga dia kehilangan kendali diri dan menjadi seperti orang gila. Semua uang dan barang dagangannya dilemparkan di depan pintu rumah, dia membuang pakaian atas dan bawahnya dan dengan bersenjatakan tongkat timbangannya sebagai alat pemukul, dia berlari mengejar Bodhisatta hingga ke tepi sungai. Mengetahui bahwa Bodhisatta telah menyeberang, dia berteriak kepada tukang perahu untuk kembali tetapi Bodhisatta memerintahkannya untuk meneruskan perjalanan. Pedagang serakah itu pun hanya bisa berdiri di sana menatap dan memandangi Bodhisatta dari jauh, kepedihan mendalam datang menghantuinya, hatinya semakin panas, darah mengucur dari mulutnya, dan hatinya pecah seperti lumpur di dasar kolam yang mengering. Melalui kebencian yang telah ditanamnya kepada Bodhisatta, ia tewas saat itu juga. (Ini adalah pertama kalinya Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisatta) Sedangkan Bodhisatta, setelah menghabiskan sisa hidupnya dengan amal dan perbuatan baik lainnya, meninggal dunia sesuai dengan jasa kebajikannya.
picture source: www.jathakakatha.org
Sering kali kita mendengar atau membaca kisah mengenai Devadatta yang membenci Buddha Gotama, bahkan hendak membunuh Buddha – Gurunya sendiri. Mengapa hal ini bisa sampai terjadi di dalam komunitas buddhis awal dan terlebih di masa kehidupan Buddha sendiri? Perihal apa yang menyebabkan Devadatta menaruh kebencian yang begitu mendalam pada Buddha? Jawabannya terdapat dalam kisah Jataka ketiga, berjudul “Pedagang dari Seriva”. Kisah ini menitikberatkan pada bahaya kebencian (dosa) yang muncul dari keserakahan (lobha). Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Serivanija Jataka : Pedagang Dari Seriva
Sumber: http://jathakakatha.org/english/index.php?option=com_content&view=article&id=133:03-serivanija-jataka&catid=42:1-50&Itemid=89
Diterjemahkan secara bebas oleh: Upa. Sasanasena Seng Hansen
Pada suatu ketika di Kerajaan Seri, sekitar lima kalpa yang lampau, Bodhisatta berkutat dengan gerabah dan peralatan dapur, dan dia dipanggil dengan sebutan ‘pedagang dari Seriva’. Pedagang lain yang juga menjual barang-barang yang sama adalah seseorang yang serakah dan dipanggil pula dengan sebutan yang sama yakni ‘pedagang dari Seriva’. Mereka datang melintasi sungai Telavaha dan memasuki kota Andhapura. Dengan membagi secara adil jalan-jalan yang mereka lalui, seorang pedagang mulai menjajakan barang dagangannya di wilayahnya sendiri, dan demikian pula dengan pedagang yang lain.
Di kota tersebut terdapat pula sebuah keluarga yang miskin. Sebelumnya mereka adalah keluarga pedagang yang kaya raya, tetapi pada saat cerita ini dikisahkan mereka telah kehilangan semua anak dan saudara laki-laki dan demikian pula dengan semua kekayaan mereka. Satu-satunya yang bertahan hidup adalah seorang gadis dan neneknya. Mereka bertahan hidup dengan bekerja. Walaupun sekarang hidup dalam kemiskinan, mereka memiliki sebuah mangkuk emas di rumah mereka yang digunakan oleh kepala keluarga untuk makan, tetapi mangkuk tersebut telah ditempatkan di antara panci dan wajan, dan karena telah lama tidak digunakan, mangkuk itu pun tertutup oleh tanah dan kotoran sehingga kedua wanita itu tidak mengetahui bahwa mangkuk tersebut terbuat dari emas. Di depan pintu rumah mereka terdengar teriakan si pedagang serakah, “Jual gerabah! Jual gerabah!” Dan si gadis, ketika mengetahui ada si pedagang serakah di sana, berkata kepada neneknya, “Oh nenek, belikanlah aku sebuah gerabah.”
“Kita sangat miskin sayangku, apa yang dapat kita tawarkan sebagai penggantinya?”
“Mengapa tidak menggunakan mangkuk yang tidak berguna bagi kita ini saja. Ayo kita tukarkan dengan mangkuk ini.”
Wanita tua itu kemudian mengajak si pedagang masuk ke rumah dan duduk dan memberikan mangkuk tersebut sambil berkata, “Ambillah ini tuan, dan berikanlah sesuatu yang pantas kepada saudara perempuanmu ini sebagai gantinya.”
Si pedagang mengambil mangkuk tersebut ditangannya, membalikkannya dan mencurigai bahwa mangkuk itu sebenarnya adalah emas. Dia menggoreskan sebuah garis di bagian belakang mangkuk itu dengan sebuah jarum dan dia pun yakin bahwa mangkuk itu benar-benar terbuat dari emas. Kemudian berpikir bahwa dia dapat memiliki mangkuk tersebut tanpa memberikan sesuatu pun kepada si wanita tua, dia berteriak, “Apa nilainya mangkuk ini? Mangkuk ini bahkan tidak seharga setengah koin!” Dan seketika itu juga dia melemparkan mangkuk itu ke tanah, bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan rumah keluarga miskin itu. Sekarang, seperti yang telah disepakati sebelumnya antara kedua pedagang dari Seriva bahwa seseorang boleh berdagang di jalan yang sama seperti jalan yang telah dilalui pedagang lainnya, Bodhisatta pun melalui jalan yang sama dan muncul di depan rumah keluarga miskin tersebut, berteriak, “Jual gerabah!!” Sekali lagi si gadis meminta hal yang sama kepada neneknya dan si wanita tua itu pun membalas, “Sayangku, pedagang pertama tadi melemparkan mangkuk kita ke tanah dan pergi meninggalkan rumah. Apa lagi yang bisa kita tawarkan sekarang?”
“Oh, tetapi pedagang tadi adalah orang yang bermulut kasar, nenekku sayang; sebaliknya pedagang ini kelihatannya orang yang baik hati dan bertutur kata halus. Sangat besar kemungkinan dia bersedia mengambil mangkuk ini.”
“Kalau begitu panggillah dia masuk.”
Maka si pedagang itu pun masuk ke dalam rumah dan mereka memberikan sebuah tempat duduk dan memberikan mangkuk ke tangan si pedagang. Melihat bahwa mangkuk itu terbuat dari emas, dia berkata, “Ibu, mangkuk ini senilai dengan seratus ribu keping; saya tidak mempunyai uang sebanyak itu.” “Tuan, pedagang pertama yang datang kemari berkata bahwa mangkuk ini tidak senilai dengan setengah koin, jadi dia pun melemparnya ke tanah dan pergi. Ini pastilah berkah dari kebaikanmu yang mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah dan berikanlah kami sesuatu sebagai gantinya dan pergilah.” Pada waktu itu Bodhisatta memiliki 500 keping uang dan persediaan barang yang jauh lebih besar harganya. Semuanya diberikan kepada keluarga miskin tersebut sambil berkata, “Kalau begitu sisakan saja tas dan timbanganku, serta delapan keping uang untukku.”Dan dengan persetujuan mereka dia pun menyimpan sisa barang dan uang tadi, dan pergi menuju ke sisi sungai dimana dia memberikan delapan keping uangnya kepada tukang perahu dan pergi menyeberang sungai.
Setelah beberapa saat, si pedagang serakah kembali ke rumah itu dan bertanya apakah mereka akan memberikan mangkuk mereka sambil berkata akan memberikan mereka sesuatu sebagai gantinya. Tetapi si wanita tua mengusirnya dengan kata-kata berikut ini, “Kamu yang berkata bahwa mangkuk emas kami yang berharga seratus ribu keping bahkan tidak senilai dengan setengah koin. Tetapi tadi telah datang seorang pedagang jujur yang memberikan kami seribu keping sebagai gantinya dan dia telah mengambil mangkuk itu pergi.”
Kemudian si pedagang serakah itu berseru, “Dia telah merampok mangkuk emas seharga seratus ribu keping yang seharusnya milikku; dia telah membuatku rugi banyak.” Dan kepedihan mendalam datang menyelimutinya sehingga dia kehilangan kendali diri dan menjadi seperti orang gila. Semua uang dan barang dagangannya dilemparkan di depan pintu rumah, dia membuang pakaian atas dan bawahnya dan dengan bersenjatakan tongkat timbangannya sebagai alat pemukul, dia berlari mengejar Bodhisatta hingga ke tepi sungai. Mengetahui bahwa Bodhisatta telah menyeberang, dia berteriak kepada tukang perahu untuk kembali tetapi Bodhisatta memerintahkannya untuk meneruskan perjalanan. Pedagang serakah itu pun hanya bisa berdiri di sana menatap dan memandangi Bodhisatta dari jauh, kepedihan mendalam datang menghantuinya, hatinya semakin panas, darah mengucur dari mulutnya, dan hatinya pecah seperti lumpur di dasar kolam yang mengering. Melalui kebencian yang telah ditanamnya kepada Bodhisatta, ia tewas saat itu juga. (Ini adalah pertama kalinya Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisatta) Sedangkan Bodhisatta, setelah menghabiskan sisa hidupnya dengan amal dan perbuatan baik lainnya, meninggal dunia sesuai dengan jasa kebajikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar